Minta Pemda Percepat Perekaman Honorer Kategori II. Seluruh instansi baik tingkat pusat maupun daerah diminta mempercepat proses perekaman data honorer kategori II. Hal ini dikarenakan batas waktu terakhir untuk memasukkan hasil perekaman data ke Badan Kepegawaian Negara (BKN) adalah 30 April 2012. “Untuk data Kategori II yang
telah disampaikan kepada Menpan&RB dan BKN, harus dilaksanakan
perekaman data menggunakan aplikasi yang bisa diunduh di web BKN,”
ungkap Kabag Humas BKN Tumpak Hutabarat yang dihubungi, Kamis (29/3).
Data
hasil perekaman data tersebut, lanjutnya, harus disampaikan ke BKN dan
ditembuskan ke Menpan&RB dalam bentuk soft copy maupun hard copy.
“Sesuai Surat Edaran Menpan&RB No 3 Tahun 2012 tentang Honorer Tertinggal, batas terakhirnya 30 April 2012, lewat itu tidak akan kami proses,” tegasnya.
Untuk diketahui, data honorer kategori II yang masuk ke BKN sekitar 600 ribuan. Mereka akan diangkat CPNS melalui tahap seleksi sesama honorer. Tes yang dilaksanakan hanya sekali itu, akan mengambil kuota CPNS sekitar 30 persen dari jumlah honorer yang ada.
Bagi yang tidak lolos tes, diberikan kesempatan menjadi pegawai tidak tetap
pemerintah (PTTP) dengan catatan instansinya masih membutuhkan. Bila
instansinya tidak membutuhkan lagi, yang bersangkutan akan menerima
kompensasi sesuai kemampuan daerah masing-masing.
Seputar dunia pendidikan, iptek, science, bahasa, informatika, internet dan artikel seputar pendidikan serta tip dan tip beasiswa
MAU SUKSES, DAHSYAT.. BUKTIKAN
Rabu, 11 April 2012
KISAH GUNUNG TAMBORA
Kisah Tambora 197 Tahun Lalu dan Frankenstein
Kekuatan
letusan Gunung Tambora adalah yang terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah
Gunung Tambora, letusan terbesar
yang tercatat dalam sejarah. (Google earth)
VIVAnews -- Pada Senin 9 April 2012, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi (PVMBG) menetapkan Gunung Tambora berstatus normal, level
terendah dalam status kegunungapian. Situasi yang kontras dibandingkan apa yang
terjadi 197 tahun lalu.
Kala itu, pada 5 April 1815, Tambora mulai menunjukkan gejala tak beres. Ia bergemuruh, suaranya menggelegar. Abu dimuntahkan dari kawag. Data PVMBG menyebut, letusan paroksimal terjadi pada tanggal 10 April 1815 dan berakhir pada tanggal 12 April 1815. Tiga hari yang mengerikan. Letusan diiringi halilintar sambung-menyambung bagaikan ledakan bom atom, terdengar hingga ratusan kilometer.
Kekuatan letusan Tambora adalah yang terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah. Sebanyak 92.000 nyawa terenggut, abu dan panas menyembur melubangi atmosfer, suhu rata-rata global merosot 3 derajat Celcius. Bahkan di belahan Bumi utara, tak ada musim panas di tahun berikutnya, 1816, 'the year without summer'. Badai salju melanda New England Juli tahun itu, panen gagal. Eropa pun mengalami kondisi yang sama parahnya.
Kala itu, pada 5 April 1815, Tambora mulai menunjukkan gejala tak beres. Ia bergemuruh, suaranya menggelegar. Abu dimuntahkan dari kawag. Data PVMBG menyebut, letusan paroksimal terjadi pada tanggal 10 April 1815 dan berakhir pada tanggal 12 April 1815. Tiga hari yang mengerikan. Letusan diiringi halilintar sambung-menyambung bagaikan ledakan bom atom, terdengar hingga ratusan kilometer.
Kekuatan letusan Tambora adalah yang terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah. Sebanyak 92.000 nyawa terenggut, abu dan panas menyembur melubangi atmosfer, suhu rata-rata global merosot 3 derajat Celcius. Bahkan di belahan Bumi utara, tak ada musim panas di tahun berikutnya, 1816, 'the year without summer'. Badai salju melanda New England Juli tahun itu, panen gagal. Eropa pun mengalami kondisi yang sama parahnya.
Kabar pertama meletusnya Tambora
mencapai Inggris pada November 1985. Media The Times mempublikasikan
secarik surat dari seorang pedagang di Hindia Belanda. "Kita baru
mengalami letusan paling luar biasa yang mungkin belum pernah terjadi di
manapun di muka Bumi," tulis dia, seperti dimuat situs sains, NewScientist.
Gunung yang meletus adalah Tambora di Pulau Sumbawa. Letusannya terdengar hingga 850 kilometer. Sejumlah nahkoda kapal yang berlayar di sekitar Sumbawa menggambarkan kondisi parah kala itu. "Mereka melihat lautan sejauh mata memandang dipenuhi batang pohon, batu yang mengapung, yang menghalangi kapal," demikian tulis pedagang itu.
Gunung yang meletus adalah Tambora di Pulau Sumbawa. Letusannya terdengar hingga 850 kilometer. Sejumlah nahkoda kapal yang berlayar di sekitar Sumbawa menggambarkan kondisi parah kala itu. "Mereka melihat lautan sejauh mata memandang dipenuhi batang pohon, batu yang mengapung, yang menghalangi kapal," demikian tulis pedagang itu.
Dua hari setelah letusan dahsyat,
Sumbawa gelap gulita. "Tanaman padi sama sekali rusak, tak ada yang
tersisa. Manusia dalam jumlah besar tewas seketika, lainnya meregang nyawa
setiap harinya."
Di belahan dunia lain, Tambora juga
merenggut ribuan nyawa. Bukan karena letusannya, melainkan akibat epidemi tifus
dan kelaparan merata di wilayah Eropa. Rusuh tak terelakkan, rumah-rumah dan
toko dibakar dan dijarah. Tambora bahkan mengubah peta sejarah, 18 Juni 1815,
cuaca buruk yang diakibatkan Tambora membuat Napoleon Bonaparte kalah perang di
Waterloo. Hari terpedih dalam sejarah gilang-gemilang Sang Kaisar Prancis.
Namun, tak ada yang menduga, ilmuwan
sekalipun, Matahari akan menghilang tahun 1816. Orang-orang mengira,
kiamat akan segera terjadi. Kepanikan tak terkendali. "Seorang gadis
membangunkan bibinya dan berteriak, dunia akan segera berakhir. Sang bibi yang
terkejut, bahkan sampai koma.
Sementara di Ghent, pasukan kavaleri
yang melintas saat badai meniup terompet mereka, tanpa diduga, dua pertiga
penduduk turun ke jalan, berlutut. Mereka mengira telah mendengar sangkakala
pertanda kiamat," demikian digambarkan London Chronicle.
Mengilhami Frankenstein
Di seputaran waktu itu, seorang perempuan 18 tahun bernama Mary Shelley sedang berlibur di kawasan Danau Jenewa, Swiss. Bersama Bysshe Shelley, suaminya di masa depan, mereka terjebak hujan deras di rumah Lord Bryon. Suasana gelap kala itu.
Untuk mengalihkan perhatian dari cuaca buruk, tuan rumah mengadakan kompetisi menulis cerita horor. Shelley menghasilkan sebuah novel spektakuler yang tenar sepanjang massa, "Frankenstein".
Masa itu, seperti dimuat situs sains, Discovery.com, mereka juga sempat melakukan eksperimen, menggunakan gelimbang listrik pada hewan yang mati -- yang melatarbelakangi ide membangkitkan jasad yang tak bernyawa. Kelompok itu juga bergiliran membaca kisah horor German.
Sementara, Lord Bryon menghasilkan puisi berjudul "Darkness". "Cahaya matahari padam," demikian tulis Bryon dalam puisi yang ia tulis tahun 1986.
Di Indonesia, sejarah Tambora lama terlupakan. Sedikit yang menyadari, kejadian luar biasa pernah terjadi di nusantara. Peringatan dua abad letusan Tambora akan jatuh pada April 2015 mendatang. Perhelatan akbar sedang disiapkan, termasuk eksebisi situs-situs yang ditemukan di sekitar gunung tersebut.
Mengilhami Frankenstein
Di seputaran waktu itu, seorang perempuan 18 tahun bernama Mary Shelley sedang berlibur di kawasan Danau Jenewa, Swiss. Bersama Bysshe Shelley, suaminya di masa depan, mereka terjebak hujan deras di rumah Lord Bryon. Suasana gelap kala itu.
Untuk mengalihkan perhatian dari cuaca buruk, tuan rumah mengadakan kompetisi menulis cerita horor. Shelley menghasilkan sebuah novel spektakuler yang tenar sepanjang massa, "Frankenstein".
Masa itu, seperti dimuat situs sains, Discovery.com, mereka juga sempat melakukan eksperimen, menggunakan gelimbang listrik pada hewan yang mati -- yang melatarbelakangi ide membangkitkan jasad yang tak bernyawa. Kelompok itu juga bergiliran membaca kisah horor German.
Sementara, Lord Bryon menghasilkan puisi berjudul "Darkness". "Cahaya matahari padam," demikian tulis Bryon dalam puisi yang ia tulis tahun 1986.
Di Indonesia, sejarah Tambora lama terlupakan. Sedikit yang menyadari, kejadian luar biasa pernah terjadi di nusantara. Peringatan dua abad letusan Tambora akan jatuh pada April 2015 mendatang. Perhelatan akbar sedang disiapkan, termasuk eksebisi situs-situs yang ditemukan di sekitar gunung tersebut.
Di antaranya, sisa-sisa peradaban
kuno dan kerangka dua orang dewasa yang terkubur abu Tambora di kedalaman 3
meter. Diduga, itu adalah sisa-sisa Kerajaan Tambora yang tragisnya 'diawetkan'
oleh dampak letusan dahsyat itu.
Penemuan situs itu membuat Tambora punya kesamaan dengan letusan Gunung Vesuvius di abad ke-79 Masehi. Peradaban di Tambora lantas sebagai "Pompeii di Timur."
Penemuan situs itu membuat Tambora punya kesamaan dengan letusan Gunung Vesuvius di abad ke-79 Masehi. Peradaban di Tambora lantas sebagai "Pompeii di Timur."
Kisah Nestapa Akibat Letusan Tambora 1815
Efek
letusan mengubah iklim dunia. Orang-orang tewas membeku. Ada juga yang mengira
kiamat
Jum'at, 20 Agustus 2010, 06:01 WIB
Elin Yunita Kristanti
Foto lawas dampak letusan Tambora di
Amerika Serikat (Maurice Morley | Saratogian.com)
BERITA TERKAIT
VIVAnews - Sore itu, 5 April 1815, Gunung Tambora di Sumbawa sudah
menunjukkan gejala tak beres. Tambora 'batuk -batuk' dan bergemuruh.
Beberapa hari kemudian, pada 11 dan 12 April letusan Gunung Tambora mencapai klimaksnya. Gunung besar itu meletus, getarannya mengguncangkan bumi hingga jarak ratusan mil, memuntahkan lava dan batuan gunung.
Jutaan ton abu dan debu muncrat ke angkasa. Akibatnya sungguh dahsyat, tak hanya kehancuran dan kematian massal yang terjadi wilayah Hindia Belanda, efeknya bahkan mengubah iklim dunia. Petaka dirasakan di Eropa dan Amerika Utara.
Sebuah koran lokal di Amerika Serikat, The Saratogian, 15 Agustus 2010. memuat cerita sejarahwan, Maurice Morley tentang nestapa yang disebabkan meletusnya Gunung Tambora.
Menurut Morley, salah satu untuk tetap tenang menghadapi panasnya cuaca, kondisi berkabut, lembabnya malam saat ini adalah mengingat 'The Year of Summer' atau 'tahun tanpa musim panas', ketika suhu sangat dingin, manusia dan hewan membeku, panen gagal, dan orang-orang ketakutan mengira saat itu akhir dunia akan segera tiba.
Menurut sebuah artikel surat kabar lama, tumpukan salju hampir setinggi satu kaki turun di Ballston Spa, AS selama. Penduduk membundel tubuhnya dari kepala sampai kaki.
Meski demikian, ada saja yang tewas membeku. Beberapa orang bahkan memilih bunuh diri karena yakin Matahari sedang membeku dan Bumi akan segera hancur.
"Angin yang bertiup Juni, Juli, Agustus 1816 terus bertiup dari utara, keras, dan dingin," demikian dilaporkan surat kabar lawas tersebut.
Meski tanaman mati, petani tetap bercocok tanam, dengan sarung tangan, mereka menebar benih jagung.
"Selama Juli-Agustus, tumpukan salju makin tinggi. Pada 30 Agustus bahkan ada badai besar. Hanya ada kesuraman sepanjang musim panas itu, tidak ada pemandangan hijau di manapun."
Dikutip dalam koran itu, sebuah cerita bagaimana seorang wartawan, James Winchester menemukan pamannya tewas terkubur dan kaku di salju saat mencari dombanya.
Meski suhu sempat menghangat di bulan September, rasa takut tetap mendera, bahkan di hati orang beriman sekalipun.
Seorang pria tua, James Gooding, teramat sangat putus harapan. Dia membunuh semua sapinya, lalu menggantung diri. Dia bahkan menganjurkan hal yang sama pada istrinya. Alasannya, menghindari kematian karena dingin dan kelaparan, yang ia yakini tak terelakan. (umi)
Beberapa hari kemudian, pada 11 dan 12 April letusan Gunung Tambora mencapai klimaksnya. Gunung besar itu meletus, getarannya mengguncangkan bumi hingga jarak ratusan mil, memuntahkan lava dan batuan gunung.
Jutaan ton abu dan debu muncrat ke angkasa. Akibatnya sungguh dahsyat, tak hanya kehancuran dan kematian massal yang terjadi wilayah Hindia Belanda, efeknya bahkan mengubah iklim dunia. Petaka dirasakan di Eropa dan Amerika Utara.
Sebuah koran lokal di Amerika Serikat, The Saratogian, 15 Agustus 2010. memuat cerita sejarahwan, Maurice Morley tentang nestapa yang disebabkan meletusnya Gunung Tambora.
Menurut Morley, salah satu untuk tetap tenang menghadapi panasnya cuaca, kondisi berkabut, lembabnya malam saat ini adalah mengingat 'The Year of Summer' atau 'tahun tanpa musim panas', ketika suhu sangat dingin, manusia dan hewan membeku, panen gagal, dan orang-orang ketakutan mengira saat itu akhir dunia akan segera tiba.
Menurut sebuah artikel surat kabar lama, tumpukan salju hampir setinggi satu kaki turun di Ballston Spa, AS selama. Penduduk membundel tubuhnya dari kepala sampai kaki.
Meski demikian, ada saja yang tewas membeku. Beberapa orang bahkan memilih bunuh diri karena yakin Matahari sedang membeku dan Bumi akan segera hancur.
"Angin yang bertiup Juni, Juli, Agustus 1816 terus bertiup dari utara, keras, dan dingin," demikian dilaporkan surat kabar lawas tersebut.
Meski tanaman mati, petani tetap bercocok tanam, dengan sarung tangan, mereka menebar benih jagung.
"Selama Juli-Agustus, tumpukan salju makin tinggi. Pada 30 Agustus bahkan ada badai besar. Hanya ada kesuraman sepanjang musim panas itu, tidak ada pemandangan hijau di manapun."
Dikutip dalam koran itu, sebuah cerita bagaimana seorang wartawan, James Winchester menemukan pamannya tewas terkubur dan kaku di salju saat mencari dombanya.
Meski suhu sempat menghangat di bulan September, rasa takut tetap mendera, bahkan di hati orang beriman sekalipun.
Seorang pria tua, James Gooding, teramat sangat putus harapan. Dia membunuh semua sapinya, lalu menggantung diri. Dia bahkan menganjurkan hal yang sama pada istrinya. Alasannya, menghindari kematian karena dingin dan kelaparan, yang ia yakini tak terelakan. (umi)
Langganan:
Postingan (Atom)