MAU SUKSES, DAHSYAT.. BUKTIKAN

Rabu, 21 September 2016

ATLANTIS / INDONESIA

Pengantar: “Ketika proses pencarian dan pemaknaan cerita hilangnya Peradaban dan benua Atlantis yang telah diceritakan Plato dalam Trilogi bukunya Critias dan Timaeus serta Republic, baru saya mulai pada tahun 2006, maka tiba-tiba datanglah kiriman naskah di bawah ini dari seorang sahabat Atlantean yang mengaku bernama Atmonadi dari dunia mayantara (internet). Tulisan reflektif ini cukup bagus dan mencerahkan dengan suatu sudut pandang yang mendekati apa yang menjadi obsesi saya, yaitu bahwa Kisah Atlantis yang Hilang, telah meninggalkan warisannya yang sangat berharga, yaitu Sophia Perrenialis (Kebijaksanaan Abadi) atau Divine-Sacred Science (Pengetahuan Suci Ketuhanan) yang kini sudah banyak dilupakan orang di zaman modern ini yang materialis-sekular dan bahkan atheis.
Semoga setelah membaca tulisan yang agak panjang ini, kita bisa terus berdiskusi dan sharing dalam penelitian dan pengembangan warisan Atlatean bagi masa depan dunia kita.
Salam Perdamaian,
Ahmad Y. Samantho
Risalah ATLANTIS
Jejak Sejarah Pengetahuan Manusia
Status : Draft
Revised on : 23/07/2006 22:55:42
Judul : Sangkan Paraning Dumadi
Subyek: Risalah sejarah pengetahuan manusia
Risalah Mawas Diri
Atmnd (114912)
“Hak Penciptaaan Hanya Milik Allah semata “ Distribusikan secara bebas untuk kepentingan Umat Islam 2005-2057 adalah era tegaknya Cahaya Pemurnian Tauhid untuk kepentingan komersial (hardcopy) atau cetak kontak atmonadi@gmail.com
———–
Siapakah Plato? Pertanyaan ini akan dijawab dengan mudah bagi siapapun yang pernah membaca buku filsafat Yunani Klasik. Plato adalah salah satu dari filsuf besar Yunani yang hidup sekitar abad ke-4 SM yang gagasannya banyak dikembangkan oleh era filsafat maupun para pemikir selanjutnya, termasuk gagasan-gagasan keagamaan di kemudian hari yang juga menjadi perhatian Plato di bawah pengaruh Ofirisme Phytagoras. Sedikit banyak, setelah masa filosofis, Plato mentransformaiskan pemikirannya ke wilayah relijius dengan gagasannya tentang Idea dan Cinta atau Eros sebagai pendorong gerak untuk mencari hakikat dari kehidupan. Dalam buku Mohammad Hatta, “Alam Pikiran Yunani’, ia digambarkan sebagai orang paling bijak yang pernah dilahirkan sejak era Phytagoras dan sebelum Aristoteles dilahirkan. Setidaknya demikianlah yang diyakini oleh mereka yang mengenal benar pikiran Plato. Salah satunya yang kontroversial dan mengundang pertanyaan banyak orang dan para arkeolog adalah hipotesis metaforisnya tentang Atlantis sebagai Benua Yang Tenggelam, yang konon digambarkan Plato sebagai suatu pulau atau anak benua “Nesos” atau “Continent” dari mana peradaban manusia masa kini berasal. Demikian tingginya peradaban manusia Atlantis sampai-sampai kesombongan hinggap pada para penduduknya dan dalam sekejap mata menurut taksiran para ahli purbakala yang berminat membuktikan keberadaan Benua Atlantis, benua itu lenyap ditelan tsunami yang sekarang disebut Atlantik. Jadi peristiwa lenyapnya Atlantis mirip dengan Gempa bawah Laut dan Tsunami yang menimpa Serambi Mekah pada tanggal 26-12-2004 yang lalu. Apa sebenarnya yang tersembunyi di benak Plato ketika menguraikan tentang Atlantis, dan apa hubungannya dengan kita yang jauh dari Yunani ini?
Atlantis

Buku "Critias and Timaeus" karya Plato
Atlantis sebagai suatu gambaran Benua Yang Hilang sebenarnya muncul dalam buku Plato yang diungkapkan dengan format dialog yaitu trilogi “Timaeus” dan “Critias” yang ditulisnya pada tahun 370 SM. Kisah Atlantis diungkapkannya di dialog Timaeus dan Critia meskipun, nampaknya Atlantis merupakan suatu penjelasan tentang Republic sebagai dialog yang menguraikan gagasannya tentang sistem sosial kemasyarakatan yang disebut Republic yang kelak mempengaruhi bentuk-bentuk sistem sosial kenegaraan di masa depan.
Informasi yang disampaikan Plato tentang Atlantis secara garis besar sering ditafsirkan bahwa wilayah yang terletak antara Samudera Atlantik dekat selat Gibraltar sekitar 11.600 sebelum sekarang atau hari ini (jadi sekitar 9000 tahun sebelum masa Plato) mengalami suatu kehancuran besar-besaran karena adanya suatu gejala alam yang menghancurkan. Plato menggambarkan Atlantis sebagai suatu lingkupan daratan dan lautan, dengan istananya yang terletak di bagian tengah yang disebut “Mata Sapi”. Dalam risalahnya itu, Plato sebenarnya menggambarkan serangkaian dialog untuk mengekspresikan gagasannya dengan melalui suatu rangkaian dialog dan perdebatan dari berbagai karakter dalam bukunya itu.
Kata Atlantis dalam bahasa Yunani berarti “Pulau Atlas”. Atlas adalah nama Dewa Penyangga Bumi yang namanya sekarang menjadi nama yang khas karena digunakan sebagai buku yang berisi kumpulan peta geografis dunia. Jadi, arti Atlantis sebenarnya secara harfiah adalah Lautan Atlas, atau lautan yang mendukung bumi yang sejatinya menyembunyikan arti “lautan” sebagai “air” di Planet Bumi yang 2/3 diantaranya dikelilingi oleh ‘Air”. Jadi, pengertian metaforis Lautan Atlantis atau Atlantis itu sendiri berkaitan dengan arti dan makna “Kehidupan” yang dikenal oleh manusia di Planet Bumi sebagai realitas atau dimaknai oleh manusia sebagai realitas melalui pengetahuannya di mana realitas itu lahir diatas air sebagai kehidupan yang bertopang pada suatu sendi yang kelak diartikulasikan sebagai Asma, Sifat dan Perbuatan Tuhan yang menjadi bangunan kerajaan Tuhan yaitu Arasy. Dus, dengan demikian yang dimaksudkan dengan Atlantis bukanlah Benua secara harfiah namun manusia dengan pengetahuannya yang mencerap kehidupannya sebagai suatu realitas. Sebagai Atlas, maka Atlantis adalah kumpulan manusia, pengetahuannya, dan peradabannya serta konsekuensi terbaik dan terburuknya yang diungkapkan secara metaforis dengan tenggelamnya Benua Atlantis. Tenggelamnya benua Atlantis sejatinya tenggelamnya manusia karena ditenggelamkan kesombongannya karena ketidakmampuannya mempertahankan keseimbangan tatanan kehidupan sebagai syarat dasar kontinuitas kehidupan itu sendiri yang menjadi ciri Adanya Dia Yang Maha Hidup dan Maha Mematikan.
Gagasan, dialog, dan karakter adalah suatu ciri khas yang muncul dalam tulisan-tulisan Plato untuk menggambarkan suatu realitas yang terpikirkan oleh manusia. Sedemikian nyatanya dialog tersebut orang pun kemudian sangat dipengaruhi secara sugestif bahwa apa yang diungkapkan Plato mungkin ada benarnya bahwa ada suatu Benua yang saat ini tenggelam ke dasar laut entah di mana, yang disebutnya sebagai Atlantis di mana pengetahuan manusia saat itu sedemikian majunya sampai-sampai kesombongan menyergap penduduk Atlantis dan negara benua Atlantis pun tenggelam ke dalam lautan. Apakah kisah Plato ini suatu realitas sejarah atau sekedar suatu ungkapan metaforis sampai sejauh ini orang masih memperdebatkannya. Bagi yang demikian yakin, kemudian terjadi perburuan benua Atlantis dengan seabrek bukti dan juga seabrek kisah yang menceritakan romantika Benua Atlantis yang misterius itu.
Plato
Lukisan artis tentang penduduk Atlantis yang berhasil menyelamatkan diri
Namun, nampaknya sangat jarang orang menganggap bahwa apa yang diungkapkan Plato sebenarnya suatu metafora tentang manusia dan sistem inderawinya dan pengetahuannya serta esensi dari moralitas manusia sebagai makhluk yang berpengetahuan itu sendiri atau menurut Socrates sebagai salah satu tokoh dialog Platonik sebagai “rasionale animal” dengan gambaran yang nyata bahwa pengetahuan itu akhirnya malah membawa kepada kehancuran manusia itu sendiri sebagai suatu kaum yang berakal pikiran. Daniel Dobrowski, seorang pengajar sejarah klasik nampaknya memiliki pandangan yang lebih realistik-filosofis tentang Atlantis. Menurutnya, kisah Atlantis hanya sekedar piranti literatur yang diperkenalkan Plato yang diuraikan untuk memperjelas gagasan Plato tentang negara Ideal (yaitu uraian metaforis dari buku Republic) yang didicptakan dari sudut pandang pikiran Plato. Satu-satunya tempat di mana Atlantis dapat ditemukan adalah di imajinasi akal pikiran Plato yang sangat hidup dan mengilhami. Boleh jadi memang demikianlah adanya, kisah Atlantis yang diuraikan Plato sejatinya adalah suatu pesan tersembunyi berbentuk kisah terselubung yang menjelaskan tentang pergolakan manusia dan lingkunganya dengan berbagai tingkah laku, sistem sosial dan kemajuan peradabannya.
Pada saat Plato menuliskan kisah Atlantis dalam buku Critias dan Timeaus, wilayah Yunani merupakan pusat perkembangan peradaban manusia yang rasional yang telah dimulai di era filsafat alam Thales sekitar tahun 600 SM. Sebelum masa hidup Plato sekitar tahun 427-348 SM, terjadi beberapa peristiwa besar dalam sejarah klasik Yunani misalnya gempa bumi di wilayah Sparta pada tahun 469-464 SM telah terjadi ketika negara Sparta dan Athena berada dalam suatu perimbangan kekuatan. Ketika gempa terjadi, sekitar 20.000 penduduk Sparta terbunuh yang menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan politik di negara Sparta dan tetanggganya. Meskipun demikian, Sparta menolak tawaran bantuan Athena yang menyebabkan terjadinya peningkatan ketegangan politis. Ketegangan ini berpuncak pada tahun 431 SM dengan dimulainya Perang Poloponesia, suatu peperangan selama 25 tahun yang sangat berdarah antara Sparta dan Sekutunya dan Athena dengan sekutunya, peristiwa yang mengilhami kisah-kisah heroik penduduk Sparta ketika menghadapi serbuan Athena dan dikenal sebagai Perang Gempa Bumi.
Setelah terjadinya Perang Poloponesia dan serangan epidemis ketiga yang hebat menimpa Athena, pada tahun 426 SM terjadi gempa bumi yang hebat di wilayah tersebut. Menurut sumber-sumber kuno, disebutkannya bahwa berbagai jenis bangunan runtuh dan ambruk dikarenakan adanya gelombang tsunami dengan jumlah korban ribuan orang. Peristiwa tersebut terkonsentrasi di wilayah Athena Utara, dekat wilayah Lamia saat ini. Tentara Sparta saat itu berada 100 km di sebelah barat Athena disekitar Isthmus Of Corinth dan bersiap untuk menyerbu Athena. Namun, dengan adanya gempa bumi tersebut serangan Sparta menjadi buyar dan akhirnya kembali ke negaranya.
Gempa Bumi dan Tsunami merupakan suatu tragedi dahsyat di masa itu bahkan sampai hari ini seperti kita ketahui pada tanggal 26-12-2004 yang lalu yang menimpa Serambi Mekah Aceh. Dengan jumlah korban yang mencapai hampir 350 ribu di berbagai wilayah Aceh dan negara-negara sekitarnya, maka tidak mengherankan bahwa peristiwa gempa bawah laut yang diikuti oleh Tsunami disebut oleh para ahli gempa sebagai “Pembunuh Yang Tidak Pernah Gagal”. Ketika gempa melanda wilayah pantai utara Athena, kerusakan yang terjadi digambarkan oleh beberapa ahli sejarah di kemudian hari sebagai suatu gempa yang hebat. Dalam peristiwa tersebut pulau Atalante yang menjadi benteng pertahanan dan pelabuhan laut Athena hancur. Ahli sejarah dikemudian hari seperti Diodorus Siculus (abad ke-1 SM) dan Starbo (abad ke-1 Masehi) melaporkan bahwa Pulau Atalante terbentuk sebagai konsekuensi dari gempa bawah laut yang menimbulkan gelombang Tsunami. Peperangan, gempa bumi dan akhirnya epidemi penyakit pada akhirnya melumpuhkan Athena dan kawasan sekitarnya. Menurut catatan sejarah, Perang Poloponesia secara resmi diakhiri pada tahun 404 SM, meskipun demikian bentrokan kecil masih sering terjadi sampai ditandatanginya nota perdamaian pada tahun 387 SM. Beberapa tahun kemudian, 373 SM di kawasan yang sama terjadi kembali gempa bumi dahsyat yag diikuti dengan tsunami yang merusak wilayah Helike dan Bura, 2 buah kota yang berada di sekitar sebelah utara teluk Corinth, sekitar 150 km dari Athena.
Jadi, dalam kisah Atlantis sebenarnya Plato sedang menggambarkan suatu jiwa manusia yang sifatnya umum yang ada dalam setiap manusia ketika kekuasaan tertinggi mulai dimilikinya, membawa kesenangan, sampai akhirnya membuat manusia lupa diri tentang asal dan usul penciptaannya. Dalam hal ini, Plato sebagai seorang yang bijak sadar benar bagaimana cara untuk mengungkapkan gagasan arketipalnya, gagasan mendasarnya, tentang misi manusia di Planet Bumi yang kemudian diungkapkan dalam bentuk dialog dan kisah didalamnya sebagai meta-imajinasi atau kisah dalam kisah yang kelak menjadi ciri khas bagaimana dalang wayang, sutradara film dan teater mengungkapkan suatu gagasan karena sadar bahwa manusia umumnya lebih menyukai kisah-kisah yang terlihat menjadi sangat mitologik, fantasianik, teaterikal, wayangkulitik, filmologik, dan sinetronik dengan gagasan dasar dunia adalah panggung sandiwara alias Realitas The Matrix. Namun, Plato juga menyadari bahwa kisahnya mesti merupakan suatu pembelajaran yang mendidik supaya manusia menggunakan akal pikiran dan hatinya sehingga ungkapan-ungkapan metaforiknya suatu saat kelak akan dapat mengungkapkannya. Sejarah di sekelilingnya seperti kisah peperangan Sparta dan Yunani, epidemi penyakit, gempa bumi hebat, dan tsunami mengilhaminya untuk melukiskan suatu stereotipe bagaimana manusia berkembang secara komunal dengan membangun negara-negara kota yang satu sama lain akhirnya saling berseteru dan terlibat peperangan, untuk kemudian bencana alam terjadi, dan akhirnya memusnahkan satu kaum dan peradabannya, dengan meninggalkan jejak-jejak sejarah yang menjadi kisah dan legenda yang didengar oleh generasi selanjutnya. Oleh karena itu, penulisan kisah Atlantis oleh Plato dalam trilogi Republic-Critias-Timaeus menjadi suatu buku dengan model yang bukan sekedar memiliki bukti yang sahih saja, namun juga dari realitas manusia sebagai makhluk sosial yang berada dalam suatu tatanan kemasyarakan yang kelak diungkapkan Plato sebagai Timaeus dan Republic.
Dalam banyak segi, kisah Atlantis Plato sebenarnya bukan sekedar menunjukkan adanya suatu sejarah pergolakan antara suatu kaum dengan kaum lainnya, maupun reaksi alam kepada manusia, namun berkaitan langsung dengan kondisi piskologis manusianya secara individual yang membangun suatu kelompok dan akhirnya membangun sistem sosial. Republic karena itu merupakan utopia suatu sistem sosial dan tata kenegaraan yang sangat ideal, sebagai sumber pengetahuan dan ilham bagaimana manusia sebagai makhluk sosial kelak akan berkembang dengan segala konsekuensinya dimana skenario paling pahit adalah tenggelam dalam kehancuran karena ulahnya sendiri yang mengabaikan tatanan keseimbangan ideal tanpa cacat atau Golden Ratio, atau aman tentram dan sejahteraan dalam suatu Taman Eden yang Gemah Ripah Loh Jinawi.
Metafora Plato yang diungkit dari gagasan idealnya bukanlah suatu metafora tanpa konsep maupun tanpa fakta. Di zamannya, ia mengamati keadaan diselilingnya tempat di mana ia dilahirkan, Plato mengetahui dari perjalanan hidupnya berkunjung ke wilayah-wilayah sumber peradaban Kuno mulai Mesir, Babyonia, bahkan mungkin sampai India, China dan boleh jadi ia memasuki Wilayah Indonesia dengan tanda Gunung Runcing yang besar di selat Sunda yaitu Krakatau yang angker untuk melihat langsung bentuk-bentuk peradaban yang ada. Dari pengalaman tersebut, kisah dan fakta yang ditemui Plato akan bersinggungan dengan kawasan-kawasan mati, hancur, dan luluh lantak padahal dulunya nampak sangat maju. Di kawasan Yunani sendiri misalnya terdapat sisa-sisa peradaban yang hancur lebur yang tertinggal dalam kenangan manusia menjadi kisah dan legenda-legenda Yunani. Bahkan sampai hari inipun kisah dan legenda satu peradaban karena dilibas peradaban lainnya masih banyak kita lihat dan kita dengar seperti peradabankaum Amazonian dan Atlantis.
Kitab suci pun tak luput dari kisah-kisah demikian, bahkan kalau saja kita mau jujur apa yang diungkapkan kitab-kitab agama misalnya Soddom dan Gomorah, Nabi Shaleh a.s dengan kaum Tsamud dan ‘Aad, Musa, Fir’aun dan Qorun yang tenggelam, Nabi Nuh dan Perahu Penyelamatnya, semuanya merupakan kisah yang berdasarkan pada bukti dan fakta yang diungkapkan secara metaforis. Sehingga, dalam banyak segi ketika kita mencari kapan dan dimana tepatnya lokasi kejadian peristiwa itu sebenarnya tidak mempunyai relevansi yang kuat dengan kesahihan kitab suci. Karena tujuan pengungkapan suatu kisah historis di dalam kitab Wahyu apapun juga agamanya untuk menemukan kembali kota tersebut dan mendapatkan harta karunnya, namun sebagai suatu contoh dan bukti yang nyata tentang etik dan moral yang hancur yang mengawali kehancuran suatu kaum, atau suatu kiamat lokal yang didahului dengan kiamat ruhani manusia.
Kekhususan Kitab Suci yang sahih, yang buktinya akan terlihat sebagai bukti abadi, hanya bisa dicocokkan dengan bukti-bukti yang berkaitan dengan komposisi fisiologis dan jiwa manusia, hukum-hukum alam dan Tuhan karena hukum itu menggambarkan suatu sistem kesimbangan tanpa cacat yang dipahami oleh manusia sebagai makhluk berpikir dan berhati yang mampu memaknai dengan citarasa terhalusnya. Jadi, kalau suatu kitab wahyu tidak bisa dikonfrontasikan dengan fenomena alam secara fisikal maupun psikologis yang langsung berkaitan dengan kesadaran manusia maka kitab suci tersebut adalah KITAB PALSU. Jadi, suatu kitab dapat disimpulkan asli atau palsu dari konfrontasinya dengan penemuan ilmu pengetahuan masa kini yang umumnya lebih berpijak pada fakta empiris. Akan tetapi ungkapan Pesan Tuhan yang menjadi Wahyu atau Firman Tuhan memang berbeda karena tuntutan aplikasi dan implementasinya harus menembus tingkat pemahaman banyak orang yang beragam pengetahuannya, maupun beragam karakter dasarnya yang dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan lokal atau budaya lokal. Apakah orang tersebut terdidik dengan sistematis melalui bangku sekolah, madrasah, pesantren, seminari, perguruan tinggi ataupun autodidak alamiah, karakter dasar akan terlihat. Dan yang mampu menyatukan semua karakter tersebut akan memperoleh pengetahuan tertinggi yang merupakan pengetahuan tingkat elementer sebagai karakteristik dasar untuk mengenali suatu gejala dari indikasi awalnya, misalnya penyusunan dasar-dasar ilmu, teori kuantum, genetika, dan berbagai ilmu pengetahuan yang elementer yang berkaitan dengan manusia Adam dan Pengetahuan Tuhan sebagai Pengetahuan Tauhid atau sebagai Atlantean yang diartikulasikan kembali dalam al-Qur’an dengan jiwa manusia yang lembut sebagai produk al-Sakinah dengan menetapkan Cahaya Pengetahuan Tuhan di dalam Qalbu sebagai al-Mu’minun (QS 48:4).
Suatu firman Tuhan harus dapat diartikulasikan di setiap tingkap pemahaman mulai dari yang lahiriah sampai yang halus. Kalau ada sekelompok orang yang menafsirkan kitab suci dengan satu cara saja, maka kelompok orang tersebut justru telah merendahkan nilai Kitab Sucinya karena secara tidak langsung telah dihinggapi GHURUR dan KESOMBONGAN IBLIS karena Tuhan telah dianggap oleh mereka memiliki kemampuan terbatas. Kalau saja orang percaya dengan akal pikiran dan hati yang jernih, maka orang pun mestinya harus yakin bahwa Kitab Wahyu menjadi suci karena banyak hal yang dimungkinkan oleh ungkapan yang tersirat didalamya untuk dipahami oleh berbagai macam orang, baik yang pintar maupun bodoh, yang cacat maupun yang sempurna, yang bisa berbahasa asli kitab dituliskan maupun dari terjemahannya. Namun, yang lebih penting dari semua itu adalah realisasi dari nilai-nilai yang terkandung didalam Kitab Suci tersebut menjadi akhlak dan perilaku penganutnya masing-masing yang mencitrakan kesucian dan kemuliaan penulis aslinya yaitu ALLAH YANG MAHA ESA, AL-RAHMAAN yang mengajarkan al-Qur’an dan menciptakan manusia serta dapat membuatnya berbicara (QS 55:1-4). Kalau seseorang atau suatu kaum tindakannya tidak selaras dengan kandungan isi kitab tersebut, maka kaum atau orang tersebut tak lebih dari kaum FASIK atau perusak agama. Jadi, hati-hatilah ketika kita menilai suatu kesucian kitab karena secara langsung akan bersinggungan dengan kemulian dari Yang MENYATAKAN KITAB TERSEBUT SEBAGI FIRMAN TUHAN YAITU TUHAN YANG MAHA ESA YANG DIYAKINI SEBAGAI SUMBER SEMUA PENGETAHUAN.
Kisah Atlantis, bagi saya memang suatu kisah yang menarik. Mitos dan legenda yang menghibur yang telah saya kenal ketika saya masih suka sekali membaca komik. Dalam gambaran yang lebih komikal, dulu manusia Atlantis sedemikian pandainya sampai-sampai ia dapat mengubah manusia menjadi berbentuk seperti binatang dengan suatu mesin rekayasa genetis dengan seketika. Ketika saya mengenang kembali kisah komikal tentang Atlantis, saya jadi teringat tentang gambaran hawa nafsu khewaniyah yang melekat dalam diri manusia yang seringkali tampil dengan watak-watak dan karakter dasar yang dikatakan tercela dengan standar moral keagamaan yang saya yakini (yaitu Islam). Ketika seorang teman tiba-tiba setengah ketakutan mengisahkan pengalaman mistiknya bagaimana ia melihat kawan-kawan sekantornya berubah wujud dan bentuk menjadi berbagai bentuk binatang melata yang menjijikkan, saya tiba-tiba teringat kembali dengan kisah penduduk Atlatis dengan perspektif metaforis yang diaktualisasikan sebagai suatu gambaran Plato tentang watak manusia, pengetahuannya, peradabannya, dan hari-hari akhirnya sebagai suatu gambaran arketipal yang mungkin dipelajari Plato dengan melihat jejak-jejak sejarah peninggalan peradaban manusia di masa lalu.
Kesimpulan awalnya, apa yang disebut manusia Atlantis dan Atlantis sendiri sebagai benua adalah gambaran tentang diri manusia dengan berbagai wataknya. Dialog Atlantis Plato adalah dialog dirinya dengan dirinya yang memerankan berbagai watak manusia sebagai suatu Atlant, suatu ungkapan yang dimetaforakan Plato sebagai realitas yang tercerap oleh Retina Mata Manusia dan diproyeksikan menjadi realitas nyata. Jadi, Ibukotanya yang berbentuk “Mata Sapi” dalam ungkapan Atlatis Plato sebenarnya suatu ungkapan berseloroh Plato tentang telur mata sapi yang mengingatkannya tentang realitas dunia yang dikenal oleh manusia melalui kedua lensa retinanya atau diunkapkan kembali oleh Rasulullah dengan ungkapan yang lebih lembut yaitu “sejarak dua ujung busur panah (Qabaa Qausaini)” alias kedua kelopak mata manusia yang pandangannya telah transparan dan menjadi pandangan Tuhan Sendiri. Ungkapan Platonis tentang telur mata sapi kemudian diungkapkan kembali dengan cara yang berbeda oleh Aristoteles sebagai suatu ungkapan pertengahan setengah matang yang mengundang polemik ribuan tahun “mana duluan : telur atau ayam”.
Jadi, Plato sebagai filsuf dan ilmuwan, telah menyadari realitas dunia sekedar tampilan proyektif dari adanya cahaya matahari yang cahayanya terserap oleh benda-benda sehingga menjadi nampak nyata batasan-batasannya. Jadi, ribuan tahun sebelum teori Radiasi benda Hitam dipahami sebagai dasar-dasar teori kuantum oleh Max Planck, Plato mengetahui secara empiris bagaimana cahaya matahari menyebabkan benda-benda nampak di retina mata sebagai suatu susunan Golden Ratio yang melengkung dan kemudian muncul di otak sebagai gambaran realitas yang menjadi kumpulan kisah-kisah.
Plato mungkin bukan yang pertama menyadari realitas Indra Maya. Boleh jadi kaum Arifin sebelumnya yang kita sebut Nabi maupun Rasul atau Pendita memahami hal demikian dengan cara pengungkapan yang lebih halus, terselubung, dan mistikal. Bukti bahwa manusia pra-Filsafat Yunani memahami hal ini jejak-jejaknya hanya terlihat dari hasil peradabannya yang muncul dari masa lalu misalnya bangunan Piramida, Mahenjodaro India, kuil-kuil Babylonia, artifak-artifak masa lalu, istana-istana yang tenggelam dan tentu saja kisah dan legenda yang menjalar dari mulut ke mulut , dari satu orang ke kelompok lainnya yang ditransmisikan oleh para pendongeng, maupun para kaum arif pengembara yang melihat jejak-jeja peradaban di berbagai belahan dunia dengan ungkapan yang lebih bertekanan, yang menuntut suatu pemahaman citarasa lebih halus yaitu Atlantis sebagai Ide Arketipal berdasarkan sistem ilmu pengetahuan dasar yang dikenal oleh Phytagoras (ia juga pengembara) bilangan, huruf, kata-kata dan akhirnya kisah-kisah.
Kisah tentang Atlantis yang dimaksudkan Plato barangkali serupa pengertiannya dengan kisah tentang kaum nabi Nuh a.s, Soddom dan Gomorah, Tsamud atau ‘Aad dalam kisah-kisah yang berkembang di kemudian hari beberapa abad kemudian yang tercantum di dalam al-Qur’an atau Biblikal yang mengisahkan kehancuran suatu peradaban karena adzab dari munculnya kesombongan manusia atau kaum tersebut.
Atlantis sebagai benua, dalam pandangan Plato adalah gambaran individual yang serupa antara satu manusia dengan manusia lainnya yang menyusun suatu himpunan atau konsensus bersama tentang realitas kehidupan dengan bantuan simbol-simbol, geometri, bilangan dan huruf-huruf. Namun , ketika manusia lupa diri dan memperbudak manusia lainnya dengan kepentingannya sendiri, yang tampil bukanlah manusia sebagai makhluk yang mestinya bisa bijak dan memiliki cinta kasih, namun muncul manusia sebagai pengejawantahanan kejahatan paling keji dengan gambaran kesombongan dan amarah yang justru menenggelamkan dirinya sendiri kedalam bencana global yang memusnahkan. Itu adalah gambaran yang kita dengar di tanah Jawa sebagai Prabu Dewata Cengkar musuh Aji Saka, Utusan Tuhan yang merumuskan huruf Jawa. Ketika itulah Kekuasaan Tertinggi yang sejati muncul di alam nyata sebagai gelombang tsunami, gempa bumi, topan badai, banjir besar, letusan gunung, wabah penyakit dan peperangan yang memusnahkan satu sama lainnya, memusnahkan suatu kaum seperti tragedi-tragedi berdarah di abad ke-20 mulai dari Perang Dunia ke-1, Hitler sampai konflik regional model Kmer Merah di Kamboja, Vietnam, Hutu dan Tutsi di Afrika, Afghanistan, Irak, Palestina-Israel, konflik lokal Madura dan Dayak, Kopo, Ambon, dan Timor timur, yang melibas manusia tanpa ampun dan pandang bulu. Dengan gambaran demikian, Atlantis boleh jadi bukanlah benua yang hilang yang tenggelam kedalam lautan namun gambaran tentang Atlantis adalah gambaran tentang manusia secara individual dan kelompok yang menjadi sombong, bodoh dan dungu tapi takabur sehingga kesombongan dan ketakaburannya menelan diri sendiri dalam gelombang ganas amarah dan syahwat yang tak terkendali, yang memusnahkan manusia ke dalam jurang kenestapaannya sendiri, yaitu manusia yang menjadi sejelek-jeleknya makhluk Tuhan, yang terbelit khayal dan angan-angannya, sampai-sampai suatu kisah yang diungkapkan secara metaforis dapat menjebak manusia dalam suatu keyakinan yang akhirnya memang solah-olah ada, seperti halnya keyakinan seseorang yang seolah-olah suatu “kisah sinetron” benar-benar realitas, suatu iklan gaya hidup menjadi kehidupan yang nyata dan menjadi impian, suatu gambaran manusia yang dipenuhi angan dan khayal yang justru menyesatkannya ke dalam nestapa kemanusiaannya sendiri karena utopia tentang kebebasan, kekekalan, ataupun utopia-utopia lainnya yang mendorong manusia untuk berkhayal dalam berbagai koridor pemahamannya masing-masing.
Dunia Imajinal Yang Menggambarkan Manusia
Apa yang menjadi dasar Plato sehingga ia mengungkapkan kisah tentang Atlantis? Hal ini tidak jauh dengan pandangan Plato sendiri ketika bersentuhan dengan Idea Imajinal sebagai dunia bawah sadar manusia yang diungkapkan seiring dengan munculnya keinginan. Gambaran mudahnya sering kita lakukan sehari-hari. Misalnya, ketika kita hendak membuat sebuah bangku, maka ide tentang bangku bayangannya ada di alam imajinasi kita. Kemudian dengan akal pikiran yang mengikat pengetahuan tentang cara mengolah pohon kayu, memotongnya, dan membuat bentuk baru ide tersebut diterjemahkan menjadi konsep desain di atas kertas. Setelah itu, semua bahan dan keperluan kita kumpulkan sampai akhirnya dengan pengetahuan yang telah diartikulasikan menjadi benda-benda yang mendukung perwujudan gagasan tersebut kita dapat membuat bangku. Dalam bentuk yang lebih ringkas, kalau saja kita harus punya cukup uang maka gagasan imajinal itu jauh lebih mudah karena gagasan kita hanya perlu disampaikan kepada ahli pertukangan dan membayar mereka untuk membuat apa yang kita inginkan.
Contoh sederhana diatas cuma sekedar gagasan sederhana yang akhirnya muncul menjadi bagian peradaban kita. Dengan kisah Atlantis, Plato mengambil suatu metafora yang lebih luas sejauh jangkauan manusia mampu memikirkannya yaitu manusia yang membuat makhluk lainnya dengan keinginan sebagai suatu makhluk yang lebih baik. Gagasan demikian akhir-akhir ini bukanlah suatu hal yang aneh karena kita mengenal teknik kloning dan rekayasa genetis. Dalam kisah Atlantis, Plato mengambil gambaran yang dramatis bagaimana manusia Atlantis mampu mengubah bentuk manusia menjadi bentuk tertentu karena sebab-sebab yang berkaitan dengan pelanggaran hukum.
Kisah Atlantis, juga tersirat dalam kisah Nabi Sulaiman a.s yang menjadi raja kaum pertukangan yaitu Yahudi (uniknya di dalam al-Qur’an kelompok pertukangan ini disebut sebagai Jin) sampai akhirnya kisah Sulaiman a.s pun kemudian diselewengkan untuk kepentingan kaum Yahudi sendiri karena kesombongan dan kepelitan dengan landasan untuk menguasai Pengetahuan Tuhan untuk kepentingan kelompoknya sendiri. Sampai akhirnya Pengetahuan Tuhan pun hari ini muncul diaku-akui menjadi milik sendiri.
Selama berabad-abad, ketika Kaum Yahudi menguasai perekonomian dunia bentuk-bentuk penguasaan itu kemudian muncul dengan berbagai corak dan gaya yang diresmikan oleh hukum positif manusia dalam berbagai bentuk misalnya hak kepemilikan individual, hak cipta, labelasi temuan yang sejatinya milik orang lain, dan berbagai pernik hak lainnya termasuk dalam hak untuk bekerja pun mesti dilandasi dengan cara-cara yang kemudian diartikulasikan menjadi cara untuk meraup uang sebanyak-banyaknya, ijasah pun kemudian menjadi sandaran tanpa memperhatikan kualitas sesungguhnya sebagai manusia yaitu kualitas kecerdasan lahir dan batin yang saat ini diungkapkan dengan gaya bahasa modern misalnya IQ, EQ, atau SQ atau saat ini lebih dikenal dengan sebutan yang lebih menjual seperti “Kecerdasan Spiritual” dan jargon-jargon marketing lainnya.
Metafora Indra Maya (Realitas The Matrix)
Atlantis sebagai suatu metafora yang berkaitan dengan bagaimana cara kita memahami fenomena pesan-pesan Tuhan di bawah naungan cahaya matahari tersirat dalam ungkapan Plato tentang Atlantis yang dikatakannya eksis sekitar 9000 tahun sejak hari ini (saat Plato hidup). Jadi, Plato tidak menekankan 9000 tahun itu dengan rujukan suatu konsep tahun misalnya Masehi, tahun saka, atau tahun Yahudi. Dikataknnya 9000 BEFORE PRESENT. Jadi, maksudnya 9000 tahun sebelum manusia secara umum mengaku ADA PADA SAAT PLATO HIDUP yangkalau dihitung dengan rujuan saya saat ini di tahun 2006 sekitar Atlantis.
11600 BEFORE PRESENT. Plato sendiri dalam dialognya di Timaeus memperkirakan rentang 9000 tahun sebelum masanya (ia meninggal 348 SM). Kapan manusia merada ADA atau eksis adalah suatu gambaran yang nyata tentang kapan manusia mulai berfikir dan tumbuh dewasa. Jadi, kalau kita mau merujuk kepada kelahiran seorang bayi, maka masa Atlantis sebenarnya gambaran tentang keadaan kita saat masih BALITA alias dibawah lima tahun dengan imajinasi yang masih murni. Namun, dalam perspektif kesejarahan manusia secara individual maka Atlantis boleh juga ditafsirkan masa sebelum manusia berdenyut jantungnya atau masa di alam rahiim ibunda, atau alam ruh atau alam penyaksian dimana manusia menyaksikan ke-Esa-an Tuhan dengan sebutan bagaikan seorang lelaki atau wanita menyaksikan keindahan dan keagungan kekasihnya, kemudian terpana dan berkata “Dia” atau dalam bahasa Arab “HUWA” sebagai suatu komposisi yang diartikulasikan dari konsep geometris dua dasar garis yang sejajar || atau = (sma dengan) sebagai bilangan 11 (sebelas). Jadi, kalau kita gunakan denganperspektif konsensus ILMU PENGETAHUAN yang mulai disepakati oleh manusia dan ditransmisikan dari manusia Adam yang menyusun geometri dasar, bilangan dan huruf-huruf dengan kaidah yang disebut logika maka konsep Atlantis adalah konsep awal mula sebelum mansuia mengenal sistem ilmu pengetahuan saat ini.
Statemen BEFORE PRESENT (sebelum hari ini) diartikulasikan Plato dengan rujukan hari ini menjadi 11600 BP, hal ini menjelaskan suatu konsep dasar dari titik tolak manusia umumnya ketika melihat realitas dibawah naungan cahaya matahari yang menjelaskan tentang konsep awal mula manusia mulai SADAR ATAS WAKTU. Statemen Plato tentang waktu kejadian ini sebenarnya tidak merujuk pada suatu saat tertentu yang tetap, tetapi pernyataan relatif yang menunjukkan bahwa apa yang diungkapkannya merujuk kepada kesadaran diri manusia secara individual sehingga apa yang diungkapkannya berlaku bagi semua orang yang membaca risalah dialognya (yaitu Critia, Timaeous, dan Republic) tentang suatu konsep dasar awal mula pengetahuan manusia yang seiring dengan tumbuhnya kesadaran atas waktu.
Dengan demikian, titik tolak penentuan tahun kejadian Atlantis merupakan suatu metafora terselubung yang berkaitan dengan Indra Maya atau Realitas The Matrix, suatu ungkapan yang memang memerlukan suatu syarat kecerdasan dan kearifan setaraf Plato untuk memahaminya. Penentuan tahun kejadian ini hanya sekedar indikasi saja bahwa peristiwa Atlantis seutuhnya merupakan metafora Plato ketika menemukan fakta-fakta tentang peradaban manusia yang muncul dan tenggelam baik karena bencana alam maupun karena ulah manusia itu sendiri yang berkaitan dengan kondisi psikologisnya yang tidak lain adalah akhlak dan perilakunya. Untuk menguraikan konsep 11600 sebelum hari ini menurut model Plato, maka kita harus memodelkan cara kita mengamati benda dibawah cahaya matahari dan medan gravitasi, atau secara umum dan sistemik merupakan cara makhkluk hidup di sistem tatasurya menyerap realitas maya karena adanya radiasi benda hitam dari matahari dan adanya iokatan-ikatan medan gravitasi kuantum.
Pemodelan Plato kemudian dinyatakan sebagai suatu susunan bilangan yaitu awal mula manusia melihat suatu peristiwa besar berupa simbol 6 yang kemudian diartikulasikan secara logis menjadi bilagan sempurna 6. Jadi, bilangan 6 merupakan simbol kelahiran Sang Waktu dan merupakan simbol Matahari itu sendiri sebagai suatu tanda Kekuasaan Tuhan yang setiap hari kita lihat. Namun, matahari bukanlah Tuhan. Kisah manusia yang menyembah matahari seperti di peradaban Inca/Maya atau Mesir Kuno adalah kesalahan penafsiran karena keterbatasan akal manusia saat itu. Jadi, sepenuhnya kita tidak bisa mengatakan bahwa manusia yang menyembah matahari atau benda lainnya kafir atau tersesat karena memang saat itu kapasitas mereka berpikir belum memadai untuk memahami maksud Tuhan. Namun, setelah arti sesungguhnya diketahui, maka manusia yang menyembah matahari secara taklid atau menyambah simbol-simbol semata tanpa ilmu dapat disebut manusia tersesat. Oleh karena itu, manusia purba yang primitif yang menyembah benda-benda atau binatang, atau menyembah alam tidak bisa kita nilai dengan ukuran masa kini. Yang terjadi justru sebaliknya, manusia masa kini yang masih menyembah benda-benda, matahari, simbol-simbol atau apapun selain Allah (Ghairullah), sebagai Tuhan Yang Maha Esa ia adalah manusia yang buta mata dan hatinya dan menjadi syirik atau kafir. Hukum demikian berlaku karena pengetahuan tentang Tuhan saat ini sudah terurai dengan lebih terperinci, atau terdiferensiasi dengan lebih lengkap dengan basis dasar Ke-Esa-an Tuhan alias Bilangan 1 sebagai simbolisme logis-simbolik yang menyimpan rahasia ketuhanan yang dikenali oleh manusia dan digunakan sehari-hari sampai hari ini sebagai AKSIOMA MUTLAK BENAR. Tanpa keyakinan dan keimanan yang menetap pada kebenaran relatif dengan landasan AKSIOMA MUTLAK BENAR maka semua bentuk pengetahuan manusia saat ini dikatakan keliru.
Oleh karena itu, siapapun manusia yang menyekutukan Tuhan di hari ini, selama transmisi pengetahuan Tuhan tetap terjadi dengan berbagai format dan cara, maka manusia yang masih tidak mengakui ke-Esa-an Tuhan disebut syirik bahkan menjadi kafir. Itulah arti dajjal sesungguhnya sebagai manusia-manusia yang menjadi summum bukmun dan umyun, suatu ungkapan Wahyu yang disampaikan kepada Muhammad SAW sebagai Utusan Tuhan, Juru Bicara Tuhan yang menerima teofani pesan-pesan Tuhan menjadi Wahyu yang harus disampaikan kepada seluruh umat manusia.
Sebagai akibatnya, siapapun manusia yang menyembunyikan pengetahuan Tuhan akan dikutuk karena tidak menyampaikannya dengan benar, jujur, dan adil. Kutukan Tuhan akan muncul dalam berbagai bentuk, baik menimpa secara individual, kelompok maupun suatu kaum. Kutukan yang aktual muncul dan nyata sebagai KEBODOHAN DAN AMARAH, WAS-WAS DAN KEDENGKIAN, yang diperangi oleh Nabi Muhammad SAW dengan simbolismenya sebagai Abu Jahal dan Abu Lahab, atau Aji Saka versus Dewata Cengkar. Tidak mengherankan bahwa seorang Nabi Muhammad SAW akhirnya mengatakan bahwa peperangan yang terbesar sebagai Jihad Al-Akbar adalah memerangi hawa nafsu kita sendiri, bukan peperangan Uhud atau Badar.
Ketika hukuman Tuhan itu menimpa suatu individu, maka individu yang menerima pengetahuan Tuhan namun tidak menyampaikannya akan menerima beban amanat yang tak tersampaikan yang akan ditanggung oleh seluruh generasi keturunannya yang hidup. Ketika hukuman itu menimpa suatu kelompok, atau suatu kaum maka sifat hukuman akan bersifat tidak pandang bulu karena pesan-pesan Tuhan yang telah ditelikung dan dimasukkan ke dalam jalan buntu. Selama seseorang atau suatu kaum menerima pengetahuan Tuhan maka transmisinya kepada manusia lainnya atau keluarganya haruslah disertai dengan suatu pertimbangan tentang kebijaksanaan tentang keseimbangan dan keadilan yang sesuai dengan potensinya. Oleh karena itu, banyak ungkapan metaforis dalam kisah-kisah legendaris di masa lalu digunakan supaya apa yang disampaikan diterima oleh manusia lainnya.
Namun, upaya sistematis akhirnya diperlukan yang kemudian diakomodasikan oleh kaum bijak Yunani dengan membangun sekolah-sekolah atau Akademi, madrasah-madrasah di Arabia, dan akhirnya muncul sebagai lembaga-lembaga pendidikan, kursus, maupun bentuk-bentuk transmisi pengetahuan Tuhan lainnya, termasuk dalam hal ini Mayantara atau Internet sebagai Neo-Atlantis yang menjadi Perpustakaan Tuhan Yang Terbuka atau Open Source dengan basis kaidah Tauhid, biner 2 menjadi 10, menjadi 10 huruf Laa ilaaha Illaa Huwa, yang kemudian mengartikulasikan kembali Pertolongan Tuhan (an-Nashr, QS 110) dalam bentuk pengertian Realitas di dalam Realitas yang maya diatas Realitas yang absolut sebagai Allah, Tuhan Yang Maha Esa yang kekuasaannya diartikulasikan oleh manusia sebagai Pembangun, Pemelihara dan Pendidik (Rabbul ‘Aalamin atau Inteligence Being). Oleh karena itu, setiap gerak gerik manusia ketika menggunakan setiap bentuk Pengetahuan Tauhid akan dituntut untuk mempertanggungjawabkannya kelak di kemudian hari di hadapan Azizuul Hakiim.
Ketika pengetahuan dimiliki oleh suatu kelompok elit tertentu dan digunakan untuk kepentingan kelanggengan kekuasan maka akan terjadi tekanan balik, sebagai suatu umpan balik yang menyeimbangkan. Kisah bagaimana Nabi-nabi muncul, Budha Gautama tercerahkan, Muhammad SAW yang Yatim Piatu lahir dan berkembang sebagai Insan Kamil alias Adi Buddha, Aji saka, Robin Hood, Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, Nurzathi Somadullah, atau apapun namanya, maupun kisah-kisah yang menumbangkan kekuasaan manusia yang korup pun lahir dari generasi ke generasi sebagai suatu pola khas ketika ketidakadilan dan ketidakseimbangan terjadi, atau ketika terjadi pelanggaran al-Mizan Tuhan.
Perlawanan seorang Che Guavara, Khomeini, Osama Bin Laden, atau yang lainnya juga dapat dikatakan muncul karena sikap ketidakadilan pihak-pihak tertentu yang akhirnya menjadikan munculnya dikotomi dan benturan, demikian juga ketika Pengetahuan Tuhan dikekang, maka muncul perseteruan antara Iran dan Barat secara umum dengan alasan pengekangan teknologi Nuklir, meskipun agendanya adalah pengekangan Pengetahuan Tuhan.
Atlantis adalah ungkapan simbolis Plato di zamannya yang memang dipenuhi kisah-kisah legenda Yunani, mitologi-mitologi purba yang turun temurun diwariskan dengan cara-cara yang saat itu sesuai dengan pola pikir mitologik Yunani, dan hanya dimungkinkan muncul dari kalangan penguasa saat itu yaitu kelompok elit dan raja-raja. Sampai akhirnya, secara umum perlawanan dari ketidakadilan dan ketidakseimbangan itu pun dikemudian hari muncul sebagai kisah Pandala Lima versus Kurawa, Messias, Ratu Adil, Kalki Avatar, dan tentu saja Imam Mahdi dan al-Masih sebagai Utusan Tuhan sebagai Utusan yang menyampaikan Pengetahuan Tuhan dengan kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan baik dengan akal pikiran maupun hati sebagai ukuran yang ditakdirkan untuk kepentingan manusia.
Mitologi dan Legenda memang sejarah, namun sejarah yang menyimpan rahasia untuk menuntut kepada manusia bagaimana peringkat-peringkat ruhani manusia yang berakal dan berhati terbentuk dan tersusun sebagai suatu tatanan, kadar dan potensi, dimana puncak dari capaian semua itu akan kembali kepada realitas diri manusia yang fakir dan lemah dan satu-satunya yang eksis adalah al-Haq sebagai Realitas Absolut, Allah, sebagai Tuhan Yang Maha Esa yang telah menampilkan nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-Nya sebagai wewangian-Nya yang memabukkan bagi siapapun yang menghirupnya. Dengan tuntunan yang benar, maka wewangian itu mestinya tidak akan memabukkan tetapi akan menyadarkan manusia bahwa apa yang dilihatnya tak lebih dari Jamal dan Jalal Allah yang tercitrakan oleh karena anugerah yang diberikan kepada manusia berupa maghfirah dengan ampunan dan taubat yang dapat diungkapkan oleh Indra Mayanya dengan menengadahkan kedua telapak tangannya ke atas, menekuk ibu jari tangan kanannya sebagai tanda Berserah Diri dan tunduk (Aslim), sebagai tanda untuk mengembalikan tanda yang tertera di kedua telapak tangannya dengan tulisan 18 dan 81 sebagai tanda tangan Tuhannya Yang Maha Esa, bahwa manusia dan makhluk lainnya adalah ciptaan milik Tuhan bukan milik makhluk lainnya atau bukan milik selain Tuhan Yang Esa.
Benda-benda dibawah naungan sinar matahari adalah bayangan yang tampil sebagai realitas. Bayangan itu disimboliskan sebagai bentuk yang berlawanan dengan simbol 6 atau kelahiran sang waktu yaitu simbol 9 sebagai bilangan sembilan. Yang tampil sebagai benda, memantulkan cahaya berupa radiasi yang ditangkap oleh retina mata kita sebagai bentuk yang sama persis dengan simbol 6, sedangkan apa yang dicerna oleh otak di bagian korteks selebral ditampilkan kembali menjadi bentuk angka 9. Konsepnya adalah pencerminan terbalik dengan titik awal yang nyata sebagai 9696. Namun, bilangan 6 sejatinya hanya tampilan nyata dan merupakan bayangan dari sumber yang menggerakkan sesungguhnya. Dari konsep enam manusia gua Plato yang terpenjara dan hanya bisa memandang bayang-bayang dari sesuatu yang bergerak di belakangnya, yang kelak muncul menjadi Hiburan Wayang Kulit di Pulau Jawa, maka akan terlihat bahwa realitas aslinya dimodelkan dengan teori bilangan dengan titik tolak bilangan 6 sebagai bilangan sempurna, dan realitas 6 sejatinya muncul sebagai asumsi mutlak yang nyata dan positif yaitu 1 dan 1 sebagai suatu posisi kesejajaran yang dikaitkan dengan teori geometri dari titik menjadi garis dan empat titik menjadi dua garis sejajar, sehingga dibalik angka 6 atau matahari tersembunyi realitas sesungguhnya sebagai 11.
Oleh karena itu, realitas kita saat ini setelah terpahami sebagai konsep pemantulan cahaya yang menampilkan semua bentuk kenyataan adalah maya adanya. Dan ia disimboliskan sebagai 969611. Sedangkan awal mula sebelum manusia sebagai makhluk berpikir ada adalah 11600 sebagai akhir masa Atlantis. Makna Atlantis tidak lain berkaitan dengan suatu komposisi numerik yang diartikulasikan dengan ungkapan yang terucapkan di alam manusia yang mulai mengenal sistem ilmu pengetahuan dasar sebagai geometri dasar dari titik, garis, bidang dan bentuk, bilangan dasar desimal 1,2,3,4 dan sistem huruf. Sehingga Atlantis adalah ANLNTS sebagai suatu susunan bilanga yang berasal dari 1,50,30,50,400,60=691. Dalam kitab suci al-Qur’an artikulasi Atlantis adalah al-Haqqah sebagai QS 69:1 yang berasal dari penguraian makna terselubung Thaasin sebagai 69 atau gerak dan perubahan dinamis yang juga menjadi catatan simbolik dari simbol Yin-Yang, Swastika, dan bentuk aktual yang dapat dilihat oleh mata manusia sebagai Topan badai, gelombang, gerak pusaran air, bentuk Bima Sakti, dan gerak dinamis Tai-Chi.
Artikulasi 11600 BP juga dapat dimaknai sebagai ungkapan 1162 yang menjadi 73 dan 75. 75 diperoleh dari residu 11+62 yaitu ketika kita memisahkan komposisi 5 dijit dengan kaidah biner dimana 116 adalah 116 dan 100 dengan 100 adalah biner dari bilangan 4 alias segi empat dengan sisi masing-masing 1 atau sebuah cermin segi empat yang terbangun dari 2 segitiga samakaki siku-siku. Jadi, ide Plato berasal dari pengembangan konsep akar 2 Phytagoras, dan Plato ketika memasuki wilayah yang lebih halus atau agama memang mengikuti jalur Phytagoras yaitu Ofirisme yang berasal dari Mesir Kuno. Plato memang sering mengaku merupakan sebagai reinkarnasi Hermes alias Nabi Idris a.s (dalam bible disebut Enoch) yang disebut di dalam al-Qur’an sebagai sebagai Shiddiqan Nabiya atau Dewa Ammon, atau Ganesha.
Kenapa sekian lama manusia terpenjara dalam Ghairil dan tidak mampu mengintepretasikan simbolisme metaforik Plato sebagai Atlantis? Sumbernya ternyata karena manusia sangat terpengaruh oleh filsafat materialistik yang dikembangkan di kemudian hari di era Aristoteles sehingga keakuan dan egosimenya merebak menjadi penjara Ghairil, sebagai sekat-sekat yang menjadi tabir-tabir dan hijab. Sehingga kemampuan manusia untuk merasakan citarasa hati yang lebih halus semakin berkurang kecuali bagi mereka yang tetap melatihnya secara kontinu misalnya dengan konsisten dan istiqomah beribadah. Jadi, ketika ungkapan legenda dinyatakan dengan dongeng, sifat materialistik manusia mengartikulasikan suatu legenda menjadi realitas seolah-olah memang ada. Pada kenyataannya ketika manusia berupaya menyatakan suatu legenda, terdapat suatu keserbamungkinan bahwa memang mungkin benar-benar ada dan boleh jadi juga tidak ada.
Sifat dualitas kuantum dengan “dan” ini menjadi suatu ciri psikologis yang disadari benar oleh Plato bahwa dengan cara mengungkapkan suatu realitas semu menjadi legenda, Plato mengatasi kebingungannya sendiri bahwa realitas apa yang dilihatnya merupakan suatu keadaan yang maya. Dengan kata lain, Plato tidak berbohong atau berdusta tetapi menempatkan suatu hipotesis dari dualitas antara “yang awal dan yang akhir, yang lahir dan yang batin, yang ghaib dan yang nyata, dan yang meliputi segala sesuatu” (simak QS 57:3) sebagai suatu ungkapan kuantum yang memungkinkan kebolehjadian.
Ketika orang-orang yang sangat dipengaruhi sifat materialistik membaca risalah Plato yang bersinggungan dengan Atlatis, orang yang serakah akan berimajinasi tentang kekayaan dan harta benda sebagai harta karun. Namun, bagi yang lebih arif akan melihat bahwa Plato sedang mengungkapan suatu kenyataan besar tentang kehidupan yang diselubungi oleh metafora yang menuntut pencerahan bagi pembacanya supaya mampu memahaminya dengan utuh bahwa Atlantis adalah metafora tentang realitas kehidupan sebelum manusia mempunyai sistem ilmu pengetahuan yang baku dan disepakati bersama sebagai basis dasar pengenalan dirinya, alam kehidupannya dan Tuhannya.
Kisah Plato tentang Atlatis merupakan suatu cara untuk mengungkapkan misteri bilangan akar 2 Phytagoras dan bilangan-bilangan imajiner lainnya. Khususnya yang berkaitan dengan geometri ideal atau Geometri Suci (Sacred Geometry) yang tampil sebagai bilangan-bilangan imajiner yang tak habis bagi seperti bilagan pi=355/113, pi=22/7, Golden Ratio=1,618, dan bilangan dibalik akar lainnya yang tak pernah habis bagi dengan suatu pendekatan agung bagaimana ia memahami bahwa realitas tentang bilangan imajiner atau bilangan-bilangan dibalik akar menjadi nyata dengan suatu konsep dasar yang dinyatakan sebagai ASUMSI MUTLAK.
Contoh praktis dari pengungkapan bilangan imajiner membutuhkan bantuan ilmu geometri dasar yang kemudian dinyatakan Phytagoras sebagai akar 2 dan oleh Plato ditambah dengan akar 3, dan akhirnya terimplementasikan dalam permainan yang telah lama dikenal di dunia yang berasal dari China yaitu Papan Catur dan dipopulerkan oleh Brahmana-brahmana India, dan dimurnikan kembali oleh Ahmad Muhammad bahwa realitas ilmu pengetahuan kita bersandar pada suatu Asumsi Mutlak Yang Benar dan harus diyakini adanya supaya apa yang kita sebut ilmu pengetahuan hari ini memang benar-benar suatu ungkapan realitas yang nyata. Itulah realitas Ghaibi, al-Ghaibi yang akhirnya menjadi Ghai-biin yang menjadi mestinya harus menjadi dasar-dasar keyakinan dan keimanan umat manusia sebagai dasar pedoman kehidupannya.
Dengan kisah Atantis, Plato ingin menggugah kesadaran manusia tentang dirinya sendiri meskipun dengan cara yang terselubung dan memerlukan waktu yang lama. Jadi, sedikit banyak Plato menerapkan juga peribahasa yang dikenal dimana-mana sebagai peribahasa Nabi Idris a.s atau Hermes dari Mesir yang telah tersebar kemana-mana seperti di India dan Cina dan sering juga diungkapkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yaitu “Man Arofa Nafsahu, Faqod Arofa Robbahu” (Yang Mengenal Dirinya, Akan Mengenal Tuhannya) dengan variasi pengungkapan yang mengejutkan misalnya “Inni Anallahu, Rabbul ‘Aalamin” (QS 28:30) dalam kisah Nabi Musa a.s di Al Qur’an, “Ana al-Haqq (Akulah al-Haq)” oleh al-Hallaj, ”Subhani (mahasuci Aku)” oleh Abu Yajid Al Busthami, atau “’Abd Allah (hamba Allah)” atau hakikat Maqomat Tanpa Nama sebagai titik awal dan akhir perjalanan tauhid seorang manusia yang menelusuri jejak-jejak penciptaannya (QS 57:3) yang tidak lain adalah Modulus 3 terhadap bilangan 6 alias “nol tapi kosong”. Namun “NOL dengan ISI” dimana isinya adalah Pengetahuan Tuhan yang menetap di dalam Qalbu sebagai al-Mu’minun yang menjadi al-Mu’min (Qs 48:4). Ketika perjalanan ini dilalui, maka awal dan akhirnya sejatinya tersembunyi sebagai rahasia mi’raj nabi Muhammad SAW yang menjadi syahadat “Laa ilaahaa illaa Allah, Muhammadurrasulullah”, dan kehidupan manusia tidak lebih dari ketenangan dengan sadar untuk menyaksikan dan mengaktualkan Jamal dan Jalal Allah sesuai dengan zamannya.
Namun, Plato menyadari bahwa suatu saat orang akan mengungkapkannya dengan cara apapun juga, baik yang percaya bahwa Atlantis benar-benar ada sebagai Benua Yang Hilang ataupun menyadari bahwa Atlantis adalah ungkapan metaforis tentang asal usul manusia berpengetahuan sebagai makhluk berpikir yang mampu menghimpun pengetahuan Tuhan sebagai Esensi Yang Mutlak Ghaib, dan mampu menghancurkan dirinya sendiri karena manusia mempunyai jiwa yang awal mulanya seimbang namun kemudian menjadi labil karena pengaruh unsur-unsur materialistik.
Di dalam kitab-kitab wahyu unsur-unsur materialistik inilah yang disebut Iblis atau Ablasa sebagai esensi makhluk yang memutuskan diri dari rahmat Tuhan. Sedangkan artikulasinya secara fisika akan melahirkan konsep penurunan atau diferensiasi dimana esensi Dzat Tuhan Yang Ghaib Mutlak diartikulasikan sebagai Cahaya Diatas Cahaya, yang bergerak menjadi Cahaya, panas atau kalor panas (tetapan Stepan Bolzman) dan akhirnya menjadi materi dengan cara melakukan diferensiasi dalam keadaan seimbang yang dipahami Einstein menjadi suatu persamaan sains modern relativistik bahwa Energi identik dengan Materi dimana faktor kesetaraannya adalah Kecepatan Cahaya materialistik yaitu sekitar 300.000 km/jam. Teknologi nuklir pun lahir dari suatu unsur awal mula dengan unsur utamanya yang dinamakan oleh manusia sebagai Uranium.
Artikulasi pertama yang benar setelah gagasan Plato tentang Atlantis diungkapkan adalah ungkapan yang dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW pada sekitar tahun 571-634 yang kemudian menjadi Wahyu Tuhan sebagai Surat Asy-Syams ayat 1-10. Sedangkan artikulasi kedua setelah Muhammad diungkapkan oleh Einstein sebagai keseimbangan atau kesetaraan antara materi dan energi, sedangkan ungkapan ketiga dinyatakan sebagai suatu keseimbangan sistemik tentang massa awal mula al-Haba dengan berat yang menyatakan ukuran terkecil dari materi al-haba sebagai debu-debu yairu PHA (partikel Hipotetik Atmo) sebeart 23456321×10-65 kg. jadi, kesimpulannya menjadi jelas bahwa Atlantis adalah ungkapan metaforis Plato yang berasal dari misteri akar 2 Phytagoras dan bilangan irrasional dan geometri suci Golden Ratio yang telah dikenal sejak 1650 SM di Mesir yang sejatinya berasal pada suatu hakikat tentang Pengetahuan Tauhid sebagai Allah, Tuhan Yang Maha Esa sebagai esensi al-Ghaibi. Atlantis adalah asal usul perkembangbiakan manusia, atau misteri tentang kapan makhluk pertama yang berjalan tegak di atas dua kakinya ini sadar atau eling atas kefakiran dirinya yang lemah dan merasa bahwa dirinya adalah makhluk ciptaan dari sesuatu yang Maha Ghaib Mutlak karena terbatas.
Al Qur’an, Peta Imajinal, Realitas The Matrix & Superunifikasi Kuantum
Ungkapan metafora Plato sebenarnya bersinggungan benar dengan konsep Idea yang diuraikannya. Idea adalah informasi imajinal yang masih berada dalam benak manusia. Ketika Idea diartikulasikan, maka artikulatornya adalah cahaya pada panjang gelombang cahaya tampak dengan panjang gelombang 0,55 mikron sebagai panjang gelombang al-Rahmaan (QS. 55).
Gagasan Idea yang Ideal atau Peta Imajinal Plato adalah suatu gambaran matematis yang pasti dan tumbuh tanpa batas dari suatu komposisi simbol, geometri, bilangan dan huruf yang menjelaskan bagaimana kita memahami realitas dibawah siraman cahaya matahari dengan batasan-batasan yang terukur secara simbolik sebagai 22/7=Pengetahuan Ilahiyah=3,142857…=141 huruf=7 ayat al-Fatihah=6236 ayat al-Qur’an atau Realitas The Matrix dengan rumusan simbolik yang menampung semua peradaban dasar manusia sebagai mimpi 1001 malam:
1001×6+23×10=6236
Ide dasar Peta Plato berkaitan dengan hukum-hukum pemantulan cahaya sebagai cahaya yang muncul dari Black Hole atau singularitas, yang dipantulkan oleh kumpulan-kumpulan materi dasar sebagai al-Haba atau debu yang merupakan cermin-cermin lembut yang membiaskan cahaya menjadi berbagai bentuk warna-warni sesuai dengan intensitas dan frekuasinya. Cahaya pelangi adalah suatu contoh saja bagaimana cahaya mengalami difraksi dan menampilan gambaran yang indah. Ungkapan keindahan ini menyatakan bentuk-bentuk yang tercitrakan oleh retina mata manusia yang memiliki piksel optimum berbentuk segi enam. Sehingga setiap luas segi enam piksel retina, informasi yang terkandung dalam foton cahaya dapat dibuat maksimal, manusia pun dapat melihat keindahan serba warna-warna tanpa merasa sakit karena anotomi tubuhnya mempunyai potensi dasar untuk menerima cahaya pada panjang gelombang al-Rahmaan yaitu 0,55 mikron.
Teori pemantulan cahaya kemudian diartikulasikan dengan teori bilangan dengan basis bilangan sempurna atau 6=1+2+3=1x2x3, dengan residu yang muncul sebagai 11, 4, dan -2. Residu 11 muncul karena dengan cara penulisan diatas kita menggunakan kebijakan I-Ching dari Cina, +4 muncul dari penggunaan simbol + (tambah) yang diambil simbol huruf ke-22 dari Phoenicia sebagai simbolisme limpahan rahmat dan kasih sayang, simbol X diambil dari peradaban Mesir kuno yang berasal dari warisan Nabi Idris a.s yang kemudian diartikulasikan menjadi Jam Pasir, alias Glass Hours icon cursor komputer yang sering kita lihat sebagai simbol kesadaran atas waktu atau al-Ashr (QS 103, 66 huruf) sebagai trigger kesadaran atas adanya Allah (66), sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Bilangan 1,2,3 dalam bentuk penulisan adalah warisan dari Arab Kuno, bilangan 6 adalah simbolisme dari China Kuno berupa manik-manik kerang, simbol tanda minus (-) adalah warisan Nabi Ibrahim a.s yang berserah diri ketika Ibrahim memahami “illa khamsi Nabi Nuh a.s”, simbol bilangan 1 berasal dari Sumeria – Babylonia Kuno, bahkan boleh jadi dari I-Ching China. Maka, ketika Euclids 9200-300 SM) mensintesiskan semua simbol dari berbagai peradaban, ia menyadari arti lingkaran kesempurnaan sebagai lingkaran wujud Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin, Yang Meliputi Segala sesuatu, maka dituliskanlah bahwa bilangan 6 disebut bilangan SEMPURNA dengan The Greates Common Divisornya 3, yang kelak mempengaruhi bilangan 9=3×3=33, dan bilangan 21=3×7=37, dan kembali akan ditemui realitas 7 Asma sifat dominan Tuhan sebagai suatu ungkapan yang tertinggi tentang hakikat dari apa yang bisa kita cerna di alam semesta dengan tatanan 7×7=49 sebagai tatanan Muthaa, dan tatanan global 17 sebagai tatanan Pengetahuan Tuhan Yang Dijelajahi Rasulullah SAW sebagai Isra dan Mi’raj (QS 17:1).
Komposisi pemantulan cahaya pertama kali terjadi dengan menerapkan fenomena pemantulan antara 2 cermin, dan pemantulan pada dua lapis cermin. Sehingga komposisi awal akan sesuai sebagai suatu pasangan bilangan yaitu 11235 dan 01234567. Sintesa pertama muncul dari bilangan 691 sebagai al-Haqqah yang disebut Plato dengan susunan huruf Yunani menjadi ATLANT. Penguraian selanjutnya akan tampil bilangan 6,7,8,9 melalui suatu konsep terusan yaitu 165 sebagai Laa ilaaha illaa Allah, kemudian diteruskan menjadi bentuk dasar 2 dimensi yang aktual sebagai CERMIN SEGI 4 dengan panjang sisi 1 satuan yaitu simbol 1111. Yang muncul adalah akar 2 kali akar 2 menjadi 2. Model-model Platonik adalah model teori bilangan yang dikemudian hari dikembangkan Euclids, sehingga kaidah algoritma Euclids berlaku. Demikian juga kaidah bilangan biner, atau 2 pangkat 1 dengan n bilangan bulat. Bilangan prima dibawah 1000 bilangan menjadi kelompok bilangan yang menguraikan yang dibagi menjadi 5 bagian, dan secara terus menerus akan menguraikan bilangan lainnya dengan basis +1 dan -1. Konsep aktualisasinya membutuhkan suatu susunan kaidah penguraian yang tidak lain adalah bilangan 9 sebagai simbol fenomena dibawah matahari yang diuraikan menjadi 2,3, dan 4 atau 234 atau 23×4=92 alias Muhammad sebagai maghfirah dan juga sebagai penghukum, sebagai dualitas keseimbangan azali sebelum materi muncul lebih nyata.
Materi yang muncul awal mula adalah Neutron dan Hidrogen, dan yang terakhir dikemudian hari ditemukan sebagai bahan Bom Nuklir adalah Uranium dengan
kode nomor unsur 92. Esensi yang murni dari unsur yang lebih materialistik adalah cahaya diatas cahaya sebagai Rahmaatan Lil Aalamin yang mengikat realitas materialistik menjadi pemandangan dunia, itulah makna medan Gravitasi Kuantum atau Medan Higgs sebagai medan unifikasi 111 yang muncul dengan kelembutan Allah, sebagai permukaan cermin yang halus dan lembut, yang mengaktualkan kehendak dan keinginan Tuhan dengan Kun Fa Yakuun, dan Basmalah sebagai suatu uraian aktualisai Monad, sebagai penggerak pertama yang muncul dari awal mula waktu disebut ADA yaitu Waktu al-Ashr pada t=19×10-111 detik sebelum BigBang atau sebelum Ruh ‘Amriina ditiupkan ke dalam jasad menjadi Ruh al-Quds. Dari waktu al-Ashr maka terjadi suatu proses kuantum di mana proses penampilan sepasang Black Hole dan White Hole terjadi dengan titik pusat suatu sentral penampilan yang dikemudian hari dikenali sebagai fondasi Arasy berbentuk segi 6.
Sepasang Black Hole dan White Hole muncul sebagai bentuk 3×3 titik menjadi 1 titik pusat dan 6 titik pencerminan. Jadi, proses dari T=19×10-111 detik sampai T=10-43 detik atau dari waktu al-Ashr sampai waktu Planck merupakan proses pemisahan gaya-gaya fundamental sebagai pasangan-pasangan trilateral yang kelak akan muncul sebagai kaidah-kaidah logis trilateral vertikal, horisontal dan diagonal dalam bentuk pasangan-pasangan dengan hasil jumlah yang sama. Misalnya:
A B
C D
(A+B)+(C+D)=(A+C)+(B+D)=(A+D)+(B+C)
Jadi, proses kuantum terbentuk yang saat ini diwakili oleh citarasa-citarasa Quark Red Green Blue sebagai kaidah dasar bagaimana Quark sebagai inti atom mulai membangun tatanan yang lebih materialistik. Bentuk yang pertama kali dikenali, adalah materi yang muncul dari konsep Symmetry Breaking Process sebgaai perlambatan dari keadaan yang tidak terbedakan yaitu unifikasi awal mula 1=ABCD, menjadi A B dan C D dalam posisi yang terbelah dua sebagai al-Falaq dan komposisi dengan jumlahan trilateral sebagai kaidah logis 2 dimensi yang pertama kali dikenali sebagai bilangan 6,6,6 alias 18, alias 666 sebagai batasan pertama kali ketika manusia menegnal citra gerak dan perubahan dinamis berbentuk loop energetis 69, atau Yin-Yang, atau bilangan 8 sebagai bentuk sepsang segi empat yang membangun konstruksi segi 6, atau sebagai pencerminan dari 6 cermin.
T=19×10-111 detik jauh lebih kecil dari Waktu Planck yang diperkiran oleh fisika modern dalam model Dentuman Besar sebagai t=10-43 detik. Hal ini menunjukkan bahwa di bawah waktu Planck yang terjadi adalah UNIFIKASI AKBAR ALIF alias 111 sama dengan 1 atau secara simbolik 111=1 dengan kesetaraan yang dinyatakan secara simbolis sebagai 110 sebagai artikulasi kode yang disisipkan kepada makhluk yang beriman (al-Mu’minun) sebagai bilangan biner 10 yang diuraikan menjadi 10 huruf “Laa ilaaha illa Huwa” ketika makhluk yang disebut kemudian sebagai manusia menyaksikan ke-Esa-an Tuhan kembali (QS 57:3). Dengan nilai 111-1=110 sebagai Pertolongan Allah maka 110 adalah 30 (dimana 3 adalah desimal dari 11) sebagai nilai huruf Laam. Dari penyaksian awal mula dalam QS 7:172 sebagai suatu konsep dasar yang dipahami manusia dengan akal pikiran dan hatinya maka huruf Alif menjadi huruf Pertama abjad Arab setelah diucapkan dengan susunan 1,30,80 sebagai Alif, Laam, dam Fa dengan Kekuasaan Al-Rahmaan. Huruf Fa mewakili kesempurnaan bilangan 8 sebagai simbol cermin yang dilabur dengan kesempurnaan Allah-al-Rahmaan-al-Rahiim (111) menjadi kelembutan-Nya yang ditetapkan dalam Qalbu al-Insaan al-Kamil atau manusia sempurna secara arketipal maupun nyata dilahirkan di dunia sebagai Nabi Muhammad SAW dan para Pewaris Pengetahuan-Nya. Huruf Fa saat ini merupakan huruf tengah dari seluruh karakter al-Qur’an yang tersembunyi dalam kalimat QS 18:19 “Yatalaththaf” dan “Kun Fa Yakuun”.
Teori Superunifikasi Kuantum sejatinya tersembunyi dalam huruf ALIF dari lafaz Allah yang tidak lainakan terartikulasikan dengan pemisahan setelah unifikasi menjadi 123, 6×111, 116, dan 11600 sebagai model teori bilangan sebelum rumus-rumus dan model sistemik memodelkan dinamika kesadaran ruang-waktu kita sebagai manusia, yang berada di Planet ke-3 (Matahari tidak dihitung), dalam sistem tatasurya dengan 12 benda langit termasuk Planet X atau Nibiru, Berada dalam sistem Bima Sakti berbentuk 69, berada dalam kumpulan galaksi, berada adalam alam semesta dengan basis tauhid 2 menjadi 10, dan berada dalam suatu keyakinan dan keimanan mutlak sebagai makhluk yang tercelup dalam Shihgah Allah, Celupan Tauhid, alias Genggaman Allah (QS 2:138). Walhasil kita memang ibarat ikan dalam air yang seringkali lupa dan lalai dan mengajukan pertanyaan “dimanakah Air?”.
AKAR 2: Building Block Seluruh Kitab Wahyu
Seluruh konsep ilmu pengetahuan yang dikenalmanusia pada akhirnya akan berakhir pada keberserahdirianmanusia karena keterbatasan akal pikiran dan realitas kejiwaannya sebagai wadah penampilan semua Tatanan Pengetahuan Tuhan yangnampak tampil sebagai makrokosmos. Karena itu, keseimbangan sistemik di alam semesta yang terpahami manusia akan berkaitan dengan keadaankeseimbangan alam mikronya yaitu manusia secara utuh, lahir dan batin, atau manusia yang berakal dan memaknai dengan benar akan semua yang dapat dirasakannya sebagai Ada Yang Relatif sebagai dirinya yang kelak akan mati, dan Ada Yang Absolut sebagai Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dengan ungkapan Ghaibi dan Ghaa-ibiin. Fondsai semu ilmu pengetahuan dasar akhirnya menjadi kenyataan tentang Ruh’Amriina sendiri sebagai Ruh dengan perintah Tuhan yaitu kemampuan manusia dengan bantuan simbol-simbol, geometri dasar, bilangan dan huruf untuk merasakan apa yang dapat dirasakan oleh jasad fisikal maupun kejiwaannya. Interaksi yang terjadi ketika Ruh ditiupkan ke dalam jasad bersifat fisikal energetis, dapat dirasakan oleh manusia dan dapat mempengaruhi perilaku dan akhlak manusia selam ia hidup. Gambaran logis bagaimana para Nabi dan rasul menjadi petunjuk bagi manusia lainnya dengan pijakan pemikiran dan citarasa yang sama adalah realitas bahwa manusia yang diberi petunjuk akan menjadi Penanda Langit bagi kegelapan jiwa manusia yang diselimuti kebodohan dan amarah. Kebodohan ini bukanlah dimaksudkan sebagai kebodohan logis, namun kebodohan karena memisahkan realitas lahir dan batin, awal dan akhir sebagai kebodohan yang dinyatakan sebagai terputusnya makhluk dari rahmat Tuhan sehingga manusia tidak memahami dengan utuh bagaimana dirinya diciptakan dengan ungkapan ruhaniah Iblis sebagai makhluk yang energetis yang mengkontaminasi jiwa manusia yang labih dinamis, menjadi tidak terkendali oleh manusia itu sendiri karena memperturutkan Hawa nafsunya. Nabi dan rasul berpijak pada sumber pengetahuan yang sama ketika Adam Aulia pertama kali memahami Pesan-pesan Tuhan dan menyatakannya sebagai suatu konsensus baku. Transmisi pengetahuan Tuhan ini adalah Cahaya Tuhan yang dinyatakan di alam batin sebagai Nur Muhammad yang menjalar dari saru generasi ke genarasi lainnyamelalui manusia-manusia pilihan yang dikehandaki oleh Tuhan bukan oleh manusia. Sehingga ukuran kesahihan seorang nabi dan rasulakan tercermin dari akhlak dan perilakunya sebagai al’Aamin daam konteks yang langsung berkaitan dengan akhlak dan perilakunya kepada makhluk lainnya, dan keberserah-diriannya yang mandiri untuk tunduk dan patuh di hadapan Tuhan Yang Maha Esa seperti Nabi Ibrahima.as (QS 2:131). Jadi, seorang nabi dan rasul atau wali Allah tidak diukur bukan kepada capaian materialistiknya ataupun jumlah masanya. Bisa saja orang memahami secara teknis tentang pengetahuan Tuhan namun selama hidupnya tidak mengakui adanya Tuhan karena kesombongannya sendiri, dan akhirnya ia menjadi demikian bodoh karena tidak menyadari bahwa dirinya akan mati dan menjadi bangkai. Kebodohannya karena itu muncul dari ketidakmampuan dirinya untuk mengenal kemakhlukannya.
Dari Adam, Pengetahuan Tuhan terus berkembang dan menyebar ke berbagai dunia dengan berbagai konsep yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan di mana si penyebar pengetahuan berada. Beberapa di antaranya mengalami distorsi karena kebodohannya sendiri, atau karena sebab-sebab lain yang menjadi kompromistis dengan tujuan-tujuan yang berkaitan dengan status Quo. Sebagai contoh beberapa konsep Adi Budha sebagai konsep Budha yang yatim piatu, sangat ditolak oleh kelompok penganut agama Budha di India maupun Cina karena mengandung Potensi untuk mengguncangkan status quo. Jadi, dalam hal ini Adi Budha merujuk pada individu yang muncul dari kelompok yang tidak biasa misalnya dari rakyat kebanyakan yang dianugerahi pengetahuan Tuhan dan melakukan reformasi untuk mengubah tatanan. Contoh Adi Budha sejatinya menjadi contoh pertama munculnya pengetahuan baru yang revisionis, yang mengubah cara pandang dan cara hidup seluruh masyarakat di mana Adi Budha itu dilahirkan. Contoh demikian bisa dinisbahkan kepada Nabi Adam a.s, Nabi Isa a.s, dan Nabi Muhammad SAW yang yatim piatu. Did alam konsep Adi Budha tersirat makna prima sebagai suatu penggerak perubabahan zaman yang disebut oleh Phytagoras sebagai MONAD atau Primal Monad atau Prime Mobile.
Konsep dasar Monad dalam Islam adalah al-Munad dalam QS 50:41 sebagai Sang Penyeru. Dalam beberapa ramalan kuno tentang Messias akan terdengar nama yang berbeda-beda misalnya Khalki Avatar dalam kitab Umat Hindu, al-Mahdi dari Yudeo Kristen dan Islam Shi’i, Muthaa dalam pandangan Ghazalian, Ratu Adil dalam pandangan Jayabaya raja Kediri dan Daha, dan kisah-kisah messianistik yang sebenarnya merujuk pada kelahiran Adi Budha sebagai pelurus jalan yang telah berbelak-belok tak karuan yang dikemudian hari tampil dengan berbagai format manusia, baik yang berada dalam koridor keagamaan maupun koridor pemberontakan tanpa Tuhan.
Konsep dasar yang diusung sebenarnya nyaris sama dengan artikulasi yang berbeda-beda yang berasal dari akar 2 alias Atlantis alias Lauh Mahfuz, alias Rahasia 17 Ekor Unta. Dalam kaidah Arabia, Unta adalah simbologi dari Kuda Tunggangan manusia untuk berbagai keperluan. Jadi, arti Unta sendiri berkaitan dengan ilmu pengetahuan atau tatanan ilmu pengetahuan yang mempunyai dasar pada simbol, geometri, bilangan dan huruf yang kita gunakan untuk emmaknai tatanan 7 langit bumi yang bisa terikat oleh akal pikiran, dengan berserah diri di haapanTuhan Yang Esa, dan dimaknai dengan hati. Jadi, secara langsung simbologi Unta berkaitan dengan asma-asma elementer Tuhan sebagai sistem ilmu pengetahuan dasar manusia yang mampu diterjemahkan secara logis dan mamapu disusun ulang sebagai suatu anagram huruf untuk emmberikan makna kepada segala sesuatu. Manusia adalah intepreter Tuhan dengan konsensus bersama, ia adalah tampilan kemajemukan kekuasaan dan kehendak Tuhan yang wujud sesuai dengan potensinya masing-masing dengan pedoman yang sudah dianugerahkan kepada manusia sebagai ilmu pengetahuan dan menjadi suatu Kitab Wahyu. Kitab wahyu adalah Pesan-pesan Tuhan dengan mediator antara untuk memahaminya yang ada di tatanan 7 langit bumi. Mediator itu dalam bahasa agama adalah malaikat-malaikat, sedangkan dalam bahasa fisika menjadi partikel-partikel, gaya-gaya, dan tentunya cahaya dan gravitasi itu sendiri sebagai pengikat tatanan yang wujud. Manusia, memaknainya setelah jutaan tahun berevolusi membangun sedikit demi sedikit sebagai kaidah logis pembelajaran, dan bahan baku pengumpulan perpuastakaan Tuhan yang kelak MESTINYA dapat dibaca oleh semua manusia karena modal awalnya SAMA YAITU TAUHID dan manusia sebagi medium pesan Tuhan menjadi Cermin Tuhan alias 1111. Dengan penulisan simbolik demikian, maka Ide Ideal akar 2 akan tersembunyi dengan makna lahir dan batin, desimal dan biner sebagai :
31 dari “111 dan 1” dimana residunya adalah -1 , -2, +4, +1 ,dan 10. -1 dari pemisahan pertama yaitu 111 dengan 1, -2 dari pemisahan 111 menjadi 1,1,1 yang kemudian dijumlahkan 1+1+1=3 dengan rasidu +4, +1 dari penyatuan “3 dan 1” yang memunculkan kesempurnaan kekuasaan Allah sebagai Al-Rahmaan yaitu bilangan 10 sebagai “sepuluh”. Sehingga ketika 31 muncul dari 1111, tersusun bilangan 111, 1, -1, 3, -2,+4,+1,+10, dan 11. Jumahannya adalah :
111+1+(-1)+3+(-2)+4+1+10+11=138
Residu yang muncul dari 138 adalah komposisi bilangan dari digunakannya tanda + sebanyak 8 kali dan tanda “=” sehingga muncul bilangan 16 dan 11 dari tanda “sama dengan =”. Tanda “sam dengan” dapat dimaknai dengan 3 cara yaitu sebagai bilangan 11, 3 dan sebagai bilangan 2 . Hasilnya diperoleh susunan bilangan 2, 138, 16, 11, dan 3.
Bilangan 2 dan 3 satu sama lain mengartikulasikan suatu konsep tangga nada dasar 3/2=1.5 yang diungkapkan Phytagoras sebagai Doremifasolasido. Bilangan 16 dan 11 menjadi komposisi optimum jumlah huruf yang mengartikulasikan nada pertama kali menjadi 16+11=27 dengan residu 2 sehingga diperoleh bilangan 29.
Bilangan 29 berkaitan dengan teori 5 bentuk dasar Phytgoras yang dimodifikasi dengan kondisi awal Mutlak Benar yaitu +1 sehingga muncul nilai 29 sebagai jumlah langkah dimana bentuk ke 5 berupa Dodekahedron Phytagoras tampil sebagai bentuk dasar dengan permukaan segi lima, alias buah delima pada langkah ke-30. Sebelum Dodekahedron Phytagoras muncul, karena adanya asumsi Prima Kausa =1 muncul bentuk segi 6 sebagai hasil superposisi 2 segi lima yang saling bercermin, sebagai simbol Cap nabi Dawud dan Kerajaan nabi Sulaiman yaitu bentuk segi 6 sarang tawon. Jumlah huruf 29 kemudian diadopsi menjadi jumlah 28 huruf hijaiah, dengan huruf illa khamsi sebagai unifikasi 2 huruf menjadi satu simbol Kekasih dan Mengasihi yang saling berpelukan yaitu huruf Laam-Alif ( لا ) yang sekarang menjadi simbol pita perdamaian dalam posisi terbalik.
Simbol pita perdamaian terbalik, mempunyai makna yang relatif, namun sejatinya menunjukkan suatu tanda “kuda troya” atau kuda “tunggangan” yang barangkali sejatinya makna tersebut muncul dari pemahaman melihat dari kiri ke kanan, bukan dari kanan ke kiri seperti halnya huruf Arab. Jadi simbol pita perdamaian mengandung suatu tanda tipu daya sebagai pemutarbalikkan fakta tentang makna dan arti perdamaian sesungguhnya yaitu simbol CINTA ILAHI LAAM-ALIF yang diselewengkan menjadi SIMBOL HAWA NAFSU, SIMBOL CAHAYA CINTA yang diubah menjadi GELORA API NAFSU materialistik manusia yang dapat terperosok menjadi mengumbar syahwat.
Bilangan 29 dengan illa khamsi -1, muncul dari tangga nada yangterbentuk dengan ketukan 3/2 sebagai suatu huruf yang diartikulasikan menjadi sistem dasar penyusunan huruf yang utuh dan lengkap dengan nilai numerik yang menunjukkan bagaimana pemantulan cahaya mengaktualkan Pengetahuan Tuhan dengan al-‘Aql, Aslim, dan Qalbu sebagai Cahaya Pengetahuan Tuhan yang menetap, Ruh dengan Perintah atau Ruh ‘Amriina dalam kadar yang bisa dimanfaatkan oleh umat manusia, baik secara individual maupun kelompok. Sehingga dari 29 -1=28 diperoleh 18 huruf yang sekarang adalah abjad huruf Arab dari Alif sampai Ya. Dari 28 huruf, maka 1 huruf menjadi rahasia batin semua bilangan, huruf maupun simbol yaitu +1 sebagai Alif. Oleh kerena itu semua huruf berdiri ditegakkan oleh huruf Alif, dan akan terurai atas perantaraan Alif sebagai Primal Monad atau Penggerak Pertama. Ketika komposisi 28 diuraikan dengan cara terpisah, maka susunannya adalah 271 sebagai Alif, Laam, Mim, dan Raa yang menjadi titik tolak dimulainya akal pikiran manusia mengikat realitas wujud sebagai ‘Ain Allah, atau esensi yang melahirkan kekuasan Allah sebagai al-Rahmaan. Tidak mengherankan bahwa huruf Alif sering disertai Ain untuk mengambarkan awal mula terikatnya pengetahuan Tuhan oleh akal manusia yang relatif. Yang tercitrakan oleh manusia dengan indra mayanya adalah suatu simbologi tentang tampilnya Kekuasaan Tuhan yaitu 69 sebagai QS 27:1 atau Thaasin, atau Yin-Yang, Swastika, Bima Sakti, Topan Badai dan lain-lainnya. Ketika semua itu mulai dipahami oleh manusia maka 691 mejadi suatu kepastian yang tidak dapat ditolak sebagai al-Haqqah (QS 69:1) alias Atlant. Illah kahmsi 28 -1=27 pada akhirnya akan merujuk kembali kepada makna 16+11=27 dengan residu +2 menjadi 29 sebagai realitas yang melingkar dimana kesempurnaan akan tanpil sebagai Kondisi Tanpa Tapal Batas atau sebagai kondisi pentauhidan QS 57:3 yang digunakan oleh Stephen Hawking dan Hartle sebagai konsep bentuk alam semesta yang menutup ke dalam diri sendiri, alias keseimbangan tanpa cacat.
Komposisi 2 dan 138 diartikulasikan dalam al-Qur’an sebagai QS 2:138 untuk menyatakan Shibghah Allah sebagai Pengetahuan Tauhid yang menjadi tempat pencelupan makhluk. Celupan Ilahiah itu adalah celupan pengetahuan Tauhid, bukan pengetahuan ateisik. Dalam bentuk jumlah maka 2+138=140 sebagai awal mula munculnya cahaya secara fisikal dengan kecepatan konstan melalui suatu celah sempit atau suatu kilatan cahaya setipis 1/140 satuan. Artikulasinya muncul sebagai 140+2=142 menjadi ‘Abd Allah yang kelak akan terdengar dalam suatu frekuensi radio astronomis 1420 Mega Hertz sebagai frekuensi atom Hidrogen yang melepaskan energinya di angkasa luar, dan 142-1=141 sebagai tanda illa khamsi Nabi Ibrahim a.s yang menguraikan 141 huruf 7 ayat Al-Fatihah sebagai surat yang menjadi Induk Kitab. Yang tampil dengan sempurna ketika surat al-Fatihah difirmankan adalah suatu ungkapan bagaimana manusia akhirnya harus tertunduk di hadapan Tuhannya dengan ASLIM atau ISLAM yaitu dengan 141-10=131. Setelah ia tertunduk, manusia yang berserah diri memahami realitas Tuhan sebagai al-Malik, sehingga 131 – 10= 121, dan akhirnya semua itu dikembalikan kepada hakikat semua penampilan dan fenomena sebagai 121-10=111 yang tidak lain adalah ALIF dan JIM sebagai AJI. Maka manusiapun tetap hadir sebagai manusia dengan kelembutan Allah didalamnya yang menjadi teofani ketuhanan sebagai Insan Kamil atau sebgai AJI SAKA, sesorang yang menjadi saka penegak dari Integrasi Pengetahuan Tuhan sebagai Pengetahuan Tauhid yang membangun tatanan Tauhid Base Society, suatu kerajaan Tuhan, al-Mulk yang berada dibawah naungan TUHAN YANG SATU, One Nation Under The One God.
Dengan penguraian bilangan 31, maka rahasia akar 2 terurai dari 31 dijit bilangan yang berada dibalik nilai akar dihitung dari tanda 1,… . Jumlah akumulatif nilai akar 2 sebanyak 31 dijit adalah 129. Jumlah ini sama dengan jumlah gunung berapi aktif yang ada di Indonesia dan sama dengan jumlah pintu keluar-masuk tol Jakarta Lingkar Luar (Jakarta Outer Ring Road). Jakarta sendiri mempunyai kodefikasi 623 sebagai simbol kota impian. Hasil akhir dari penguraian bilangan-bilangan dalam akar 2 adalah komposisi bilangan 1,2,3,7 dengan jumlah 13 dan residu 6 alias 19 sebagai suatu jumlah huruf yang diungkapkan menjadi 19 huruf Basmalah yang lahiriah yang menjadi kalimat Penciptaan Tuhan.
Penguraian kedua dilakukan dengan cara mengkomposiskkan bilangan 1111 sebagai 1 dan 111. Karena 111 mempunyai nilai desimal sebagai 7 maka akan terbentuk susunan unifikasi huruf 17 sebagai gambaran tentang tatanan global dari sistem tata surya yang terdiri dari 13 benda langit, sistem bima sakti, sistem kelompok galaksi, alam semesta yang dipahami akal pikiran dan hati, dan Shibghatalaahi sebagai genggaman Allah, Tuhan Yang Esa.
Dari pengkomposisian bilangan 1111 menjadi komposisi 3 dijit dan 1 dijit serta 1 dijit dan 3 dijit atau komposisi 31 dan 13 menjadi 31 dan 17, diperoleh gambaran tentang peta matematis Atlantis sebagai Lauh Mahfuz yaitu 13×13=961 dan 13×17=221, sedangkan kalau digunakan nilai kuadratis dari tatanan 17 diperoleh 17×17=289 yang merupakan lafaz al-Rahiim Allah.
Artikulasi 31, 961, dan 221 kemudian dinyatakan sebagai surat ke-31 atau surat Luqman dengan nama Luqman menunjukkan nilai numerik 221 yang dapat juga dibaca sebagai Alif, Kaf,Raa alias AKR atau AKAR. Sedangkan artikulasi al-Rahiim atau 289 menjadi bagian dari Kekuasaan Allah sebagai al-Rahmaan sebagai Ism Agung yang menyiratkan makna tersembunyi peran wanita sebagai pemberi rahmat dan kasih sayang, namun juga dapat menjadi penghukum. Sehingga ketika dinyatakan bahwa surga ada di bawah telapak kaki ibu, dan runtuhnya suatu bangsa karena keruntuhan moral kaum wanita maka hal ini berkaitan dengan al-Rahiim sebagai pengampun dan sekaligus juga penghukum.
Matriks Peta Matematik akar 2 dengan penguraian 31×31 dan 17×17 menjelaskan konsep-konsep dasar semua ilmu pengetahuan manusia dengan pemodelan 2 dimensi dan dasar-dasar teori bilangan dan makna-makna yang tersembunyi dalam nilai-nilai hurufnya yang menjelaskan hubungan antara manusia, alam semesta dan Tuhan sebagai suatu kesatuan yang utuh, sebagai suatu konsep segi 4 yang menjelaskan awal mula munculnya kesadaran tentang Tuhan yaitu ketika Kesadaran atas waktu muncul dalam diri manusia. Uraian kitab wahyu yang benar pada akhirnya harus sesuai dengan realitas yang kita rasaklan sebagai makhluk ciptaan meskipun realitas itu hanya sekedar realitas Indra Maya, The matrik, dan Semu adanya karena yang Azali dan Qadim tak terjangkau oleh instrumentasi yang ada pada manusia kecuali hanya dengan Cinta Ilahi.
Cinta Ilahi : Building Block Makrifatullah
Kalau akar 2 menjadi suatu buildingblock konseptual teknis untuk kitab wahyu dan seluruh ilmu pengetahuan manusia saat ini maka artikulasinya adalah hasrat Cinta kepada Pemilik Pengetahuan itu sendiri bukan kepada Pengetahuan-Nya. Pengetahuan-Nya adalah wewangian-Nya, sehingga dalam satu sisi simbol-simbol menjadi hijab bagi gnostikus ketika melakukan perjalanan kembali menuju Tuhan. Artikulator dari akar 2 dalam komposisi dasarnya sebagai The Matrix yang dibangun oleh bangunan 31×31 dengan inti 17×17 adalah Mi’raj sebagai na’maz, atau sebagai suatu ketentuan ubudiyyah yang mengartikulasikan Cinta Ilahi menjadi aktual untuk memakrifati semua citarasa kita tentang kehidupan di dunia yaitu shalat dengan format yang pasti. Sehingga hanya dengan Cinta Ilahilah Mi’raj dapat dijangkau baik dengan rasa Allah dengan Cinta-Nya maupun dengan akal pikiran yang termurnikan atau tercerahkan. Hasrat cinta akan terpicu dengan kepatuhan hamba kepata Tuhannya. Maka, format ubudiyyah yang optimal akan mencermin hasrat tersebut dalam keseharian makhluk. Oleh karena itu format ibadah Umat Islam dinyatakan dengan formasi yang mencerminkan kelanggengan dan kontinuitas dari penampilan Tuhan sebagai Jamal dan Jalal-Nya yang tercermin dari akhlak dan perilaku manusia sebagai al-Mukmin. Ketika manusia lalai dengan kenyataan demikian, maka realitas Jamal dan Jalal Allah akan berakhir dalam bentuk-bentuk penampilan yang menunjukkan rahasi Jalaliyah dan Jamaliyah Allah baik sebagai Murka-Nya maupun Rahmat-Nya.
Cinta Ilahi adalah rahasia hamba Allah yang menghirup pengetahuan Tuhan sebagai wewangian yang sadar akan membawa dirinya ke hadapan keridhaan Allah dalam hamparan keikhlasan-Nya yang muncul dan dinyatakan sebagai maghfirah. Ampunan dan taubat, munajat dan doa dimana kedua telapak tangan kita dirapatkan, ditengadahkan dan ibu jari kanan dilipat sebagai simbol ASLIM (Tertunduk dan Berserah Diri) membangun formasi 91 sebagai formasi Asy Syams adalah realitas dari ketentuan shalat 5 waktu Umat Islam yang aslinya menjangkau seluruh citarasa Penampilan Tuhan sehingga dalam keadaan tertinggi kualitas ubudiyyah kita mencapai IHSAN dengan keikhlasan dan keridhaan Allah bukan karena selubung hasrat hawa nafsu yang menyimpan riya, kesombongan dan kebodohan iblis. Perjalanan ruhani karena itu, bagi umat Islam menjadi suatu tradisi yang mesti disemarakkan kembali dengan sungguh-sungguh bahkan kewajiban, sebagai suatu metode pembelajaran untuk menyadari realitas kemanusiaannya dan kekhalifahannya di dunia sebagai wakil Tuhan yang mencerminkan Jamal dan Jalal-Nya bukan menampilkan Ablasa yang memutuskan diri terhadap rahmat Tuhan.
Seruan 31 kali mendustakan rahmat Tuhan di surat al-Rahmaan adalah seruan keras bagi al-Insaan, bagi Umat Manusia secara umum, dan Umat Islam secara khusus karena amatnya sebagai Umat Nabi Muhammad SAW untuk untuk tetap menjaga al-Mizan Tuhan. Sebab jika tidak demikian, maka Tuhan akan tampil sebagai Aziizul Hakiim yang akan menuntut manusia untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Ketika manusia lalai atas kenyataan demikian, maka manusiapun akan terbenam, seperti terbenamnya benua Atlantis ke dalam lautan air, letusan gunung, gempa bumi, dan topan badai kenestapaan jiwa manusia yang bodoh, sombong dan lalai bahwa semua kenikmatan yang ada di dunia tak lebih dari ujian dari-Nya, sebagai suatu gambaran yang nampak nyata meskipun maya adanya yang harus diartikulasikan dengan sadar dan sepenuh hati bahwa dirinya adalah bagian dari Jamal dan Jalal Allah yang menghembuskan nafas al-Rahmaan dengan “Laa ilaaha illa Allah , Muhammadurrasulullah” kepada semua makhluk Tuhan lainnya tanpa melihat warna kulit, asal usul, maupun kepercayaannya. Tidak ada paksaan dalam agama, bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Ketentuan Tuhan telah ditetapkan sesuai dengan kadar, potensi, dan kemampuannya masing-masing sehingga Allah berfirman kepada Nabi Muhammad SAW dengan ungkapan-ungkapan yang elegan, yang abadi di sepanjang zaman, yang hanya dapat dipahami dengan menyucikan jiwa, mematuhi perintah dan larangan yang ditetapkan, mengikuti akhlak Nabi Muhammad SAW dan ridha dengan ketentuan-Nya.
Atlantis dan Isra Mi’raj , Antara Plato dan Nabi Muhammad SAW
Apa yang dilihat oleh Plato sebagai Atlantis dalam gagasannya sebenarnya suatu makrifat, perjalanan ke masa lalu yang terproyeksikan ke masa depan sebagai titik awal dan akhir pengetahuan manusia yang justru berada dalam pengaruh kondisi psikologis manusia. Artinya, ketika Plato menyadari realitas Indra Maya seperti halnya Rasulullah SAW mengalami Isra Mi’raj, maka gambaran yang terlintas adalah gambaran masa depan dari titik tolak asal mula pengetahuan yang tercitrakan di Indra Maya manusia yaitu bilangan 6 sebagai simbol kesadaran atas Waktu. Kalau Plato memproyeksikan semua pandangannya menjadi suatu negara dengan peradaban yang maju, dengan hasil akhir risalahnya berjudul Republic; maka, Rasulullah melihat lebih jauh lagi ke wilayah Ghaib dengan melihat hari akhir manusia dalam suatu tempat yang disebut Surga dan Neraka sebagai hasil dari semua perbuatannya di dunia. Muhammad melihat surga dan neraka di setiap tatanan sebagai suatu konsekuensi logis dari perbuatan manusia di dunia. Jadi, secara sejajar pengertian Plato dipengaruhi oleh keterbatasan pengertiannya dengan bilangan akar 2 sehingga ia tidak mencapai posisi tertinggi, namun Muhammad menembus batas psikologis dan memahami realitas ilmu pengetahuan yang diekstrak oleh manusia dari Qalam Tuhan sebagai Pesan-pesan fenomenal ternyata bersandar pada AKSIOMA MUTLAK BENAR dari bilangan 1 yang muncul Keghaiban Mutlak Esensi Tuhan karena keterbatasan inderawi, akal pikiran dan hati manusia untuk memaknainya. Dengan kata lain kalau kita gunakan rumusan matematis masa kini bilangan -1 berasal dari akar -1 kali akar -1 dengan nilai mutlak |-1|=1, sedangkan artikulatornya adalah :
-1-1=-2=X6+3X2
Sebagai persamaan imajinal yang hanya mungkin diperoleh solusinya dengan cara menurunkan, atau mendiferensiasikan Pesan-pesan Tuhan menjadi tatanan-tatanan Pengetahuan dengan hirarki yang dapat dipahami oleh akal pikiran manusia sebagai hirarki papan catur 8×8=64 yang identik dengan 13×5=65 dan hal ini terbukti secara aktual bahwa tatanan sistem kehidupan di sistem tatasurya adalah 13 benda langit, sedangkan tatanan Global adalah 17 sebagai 7 langit bumi dengan trigger maghfirah 5 yang menjadi ketentuan shalat wajib 5 waktu sehari semalam, maka al-Bayyinah terbukti bahwa eksistensi kehidupan makhluk adalah Realitas The Matrix. Semuanya adalah metafora tentang wewangian Tuhan. Artikulator dari hasil penurunan persamaan Muhammad diatas (ini penamaan dari saya, di masa kini saya membaca buku Richard Feyman ilmuwan Fisika Nuklir Caltech yang menuliskan persamaan di atas dan beliau katakan sebagai persamaan yang tak ada solusinya).
Produk akhir dari perjalanan Rasulullah adalah suatu hadiah bagi Umat Manusia sebagai Rahmat bagi semua manusia yang masih menggunakan sistem ilmu pengetahuan simbolik, geometrik, bilangan dan huruf sebagai Shibghatallaahi, sebagai Wahyu-wahyu elementer yang diartikulasikan dari Ruh ‘Amriina yang menyaksikan ke-Esa-an Tuhan yang tidak lain adalah Nur Muhammad yang sekarang berkembang menjadi hampir menjadi 5000 bahasa di dunia sebagai al-Qur’an yang menjadi Wacana Fundamental Semua Manusia dengan landasan Pengetahuan Tauhid.
Ketika Tuhan berbicara melalui mediatornya kepada Muhammad SAW maka menjadi jelas bahwa lidah Muhammad SAW lah yang digunakan-Nya sebagai suatu sarana untuk mengungkapkan kebenaran tentang Allah, Tuhan Yang Maha Esa sebagai satu-satunya esensi yang memerintah dan memberikan wewenang atau al-Haqq. Dan dengan demikian Al Qur’an sebagai Kitab Wahyu yang disampaikan oleh malaikat Jibril adalah Firman-firman Tuhan yang harus diyakini dan diimani secara utuh, bukan sepenggal-sepenggal, artinya harus dinyatakan sebagai akhlak dan perilaku manusia karena Al Qur’an tidak lain adalah Dzikrul Lil ‘Aalamin, sebagai Sistem Operasi Intelijensi Manusia yang sebenarnya telah ter-install dalam diri manusia ketika ruhnya menyaksikan ke-Esaan Tuhannya. Kesucian Al Qur’an tidak akan tampil selama al-Qur’an hanya menjadi sekedar pajangan dan komoditas yang diperjualbelikan dengan sampul-sampul yang indah lantas menjadi pajangan lemari buku, karena kesucian dan kemuliaan Al Qur’an sebagai Kitab Suci, mestinya harus ditampilkan menjadi akhlak dan perilaku manusia, yang menjadi bayangan kemuliaan dan kesucian Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Siapapun yang menolak realitas kemuliaan jiwa manusia atau diri sendiri dengan memperlihatkan akhlak dan perilaku yang tercela maka ia akan bertentangan dengan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan akan terjerumus kedalam lembah kehinaan manusia sebagai Asfalaa Safiliin (QS 95:5). Maka, ia yang menghinakan diri sendiri adalah makhluk yang terputus dari rahmat Tuhan dan menjadi ateis dari kacamata keakuannya sendiri, dari kacamata Tuhan maka manusia adalah makhluk yang harus menerima suatu konsekeunsi dari keterputusan dirinya dari Rahmat Tuhannya yang telah menganugerahkannya indra maya, akal pikiran dan hati untuk mengenali ke-Esa-an Tuhan seperti diungkapkan dalam QS 55 sebanyak 31 kali, “maka rahmat mana lagi yang mau didustakan?”.
Wassalam,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar